Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Powered By Blogger

Senin, 24 Mei 2010

PSIKOLOGI DALAM PERSPEKTIF HADITS

I. PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Walaupun proyek rekontruksi islami pada kajian psikologi bukan sekedar mengumpulkan ayat-ayat dan hadits Rasulullah yang mengulas tentang jiwa manusia, atau pun mengumpulkan penjelasan yang banyak ditulis buku-buku tafsir dan hadits, namun kita tetap membutuhkan semuanya itu untuk menentukan batasan ilmu pengetahuan dan batasan defnisi manusia, sehingga menjadikan proyek ini pun selaras dengan penafsiran ilmiah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah.

Barang siapa yang ingin mengetahui sikap Al-Qur’an dan sunnah terhadap proyek rekontruksi Islami pada kajian psikologi, maka ia harus bias memahami penafsiran keduanya dengan penafsiran yang lebih dikenal dengan penafsiran ilmiah, yang dimaksud dengan penafsiran ilmiah disini bukan penafsiran menurut bahasa, yakni salah satu jenis penafsiran yang apabila semua syaratnya terpenuhi, mak ia disebut penafsiran ilmiah. Yang dimaksud disini adalah penafsiran yang dapat dipahami oleh khalayak umum, yakni pendayagunaan sebagai ilmu alam dan ilmu humaniora (disamping ilmu syariah dan ilmu bahasa) sebgai sarana dalam memahami ayat Al-Qur’an lebih luas dan mengklasifikasikannya sesuai dengan topik-topik yang berkaitan dengan ilmu tertentu.

II. PEMBAHASAN

A.Pengertian Nafs Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits Secara Umum

Kata nafs merupakan satu kata yang memiliki banyak makna (lafadz musytarak) dan harus dipahami sesuai dengan penggunaanya. Contoh lain dari kata-kata yang juga memiliki banyak makna dalam Al-Qur’an dan hadits, seperti al-hidayah, ad-din, ash-shalat, az-zakat, al-maut, al-hayat dan lain sebagainya.[1]

Kata nafs dalam Al-Qur’an memiliki makna sebagai berikut :

a)Jiwa atau sesuatu yang memliki eksistensi dan hakikat. Nafs dalam artian ni terdiri atas tubuh dan ruh, sebagaimana tampak dalam ayat Al-Qur’an,

وكتبنا عليهم فيها ان النفس با لنفس…..

“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-taurat)bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa…“(al-Maa’idah: 45)

ولو شئنا لا تينا كل نفس هدها….

“Dan kalau kami menghendaki, niscaya kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk baginya…..(as-Sajdah: 13).

b)Nyawa yang memicu adanya kehidupan.apabila nyawa hilang, maka kematianpun menghampiri. Nafs dalam artian ini tampak dalam ayat Al-Qur’an,

…..والملئكة با سطواايديهم اخرجواانفسكم اليوم تجزون عذاب الهون…..

“…Para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), keluarkanlah nyawamu.di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan…” (al-An’am : 93)

c)Diri atau suatu tempat diman hati nurani bersemayam. Nafas dalam artian ini selalu dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, sebagaimana tampak dalam ayat Al-Qur’an,

…تعلمو ما فى نفسى ولا اعلم ما فى نفسك انك انت علام الغيوب

“…engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri engkau. Sesungguhnya engkau maha mengetahui perkara yang gaib-gaib.(al-Maa’idah: 116)

d)Suatu sifat pada diri manusia yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan juga kejahatan.

B.Macam-Macam Nafs

a)Nafs saat menjadi ammarah bissu’i

Ini adalah kondisi kedua yang digambarkan oleh Al-Qur’an ketika berbicara tentang kondisi topic kondisi diri manusia. Namun sebagian ilmuwan menjadikannya sebagai kondisi pertama, padahal kenyataannya tidak demikian. Sesungguhnya diri manusia diciptakan dalam keadaan sempurna dan terilhami oleh fitrah dan wahyu.lalu datanglah godaan setan dan mengubah kondisi kesempurnaannya yang semula ada dengan menyuruh manusia untuk melakukan suatu keburukan.

Bentuk penyimpangan diri manusia dari fitrah kebaikannya, ditampakkan dalam peristiwa pembunuhann pertama kalinya yang terjadi dimuka bumi,

“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (Al-Maa’idah: 30)

Dikisahkan juga dalam Al-Qur’an tentang waktu yusuf berada dalm penjara yang bunyinya sebagai berikut :

!

Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.(Q.S :12 : 53)

Allah berfirman memberitakan tentang raja setelah mereka datang membawa ta’bir mimpi yang mengagumkan itu, sehingga raja dapat mengetahui keutamaan yusuf, ilmunya, pengetahuannya yang baik tentang impian sang raja, budi pekertinya yang baik terhadap warga negaranya, maka raja berkata :ائتوني به)) “bawalah dia kepadaku“, maksudnya keluarkan dia dari penjara dan bawalah dia kemari. Setelah utusan raja mendatanginya dan meminta hal itu, yusuf menolak untuk keluar dari penjara kecuali setelah raja dan rakyat memastikan bahwa dia bersih dari tuduhan dan tetap terjaga kehormatannya dari tuduhan berbuat serong dengn isteri al-Aziz, dan penjara itu bukan sebagai balasan dari perbuatannya akan tetapi akibat kezhaliman dan pelanggaran terhadap dirinya. Ia Yusuf mengatakan ارجع إلى ربك }{” kembalilah kepada tuhanmu”

Dalam al-Musnad (Ahmad) dan Ash-shahihain (al-Bukhari dan Muslim) terdapat hadits yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari sa’id dan abu salamah, dari abu hurairah r.a berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda :

{ نحن أحق بالشك من إبراهيم إذقال ( رب أرنى كيف نحي الموتي )- الاية- ويرحم الله لوطا لقد كان يأوى إلى ركن شد يد, ولو لبثت في السجن ما لبث يو سف لآجبت الداعي.}

“kami lebih pantas ragu dari ibrahim ketika berkata: “ya rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana engkau menghidupkan orang-orang mati,” dan semoga Allah memberikan rahmat kepada Luth, ia berlindung kepada tiang yang kuat, dan seumpama aku tinggal dipenjara seperti yusuf, pasti aku menyambut undangan raja itu.”

{ وأن الله لا يهدي كيدالخائنين وما ابرئ نفسي } “Dan bahwasannya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. Dan aku tidak membebaskan driku (dari kesalahan)“, istri al-Aziz mengatakan: ku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena memang nafs itu selalu membisikkan dan dan mengharapkan, oleh karena itu aku telah menggodanya.

Menurut pendapat al-Mawardi dalam tafsirnya, dan didukung oleh imam Abul Abbas bin taimiyyah dalam buku tersendiri yang ditulisnya. Tetapi ada yang mengatakan bahwa perkataan itu dari Yusuf A.s, ia mengatakan :

{ ذلك ليعلم أني لم أخنه }” agar ia mengetahui bahwa aku tida menghianatinya” terhadap isterinya { با لعيب }“dengan diam-diam” dan seterusnya sampai akhir dua ayat. Yakni aku menolak utusan raja itu agar raja tahu bahwa aku bebas dari tuduhan tersebut, dan supaya al-Aziz mengetahui bahwa { أني لم أخنه } “aku tidak menghianatinya ” dengan berbuat serong dengan isterinya ketika dia tidak berada dirumah { وأن الله لا يهدي كيد الخا ئنين }“sesungguhnya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat “[2]

b)Nafs Saat Menjadi Sawiyyah Mulahhamah

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),”

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (asy-Syams: 7-8)

Dalam ayat diatas, tampak dua sifat dan kondisi nafs sawiyyah (sempurna) dan mulahhamah (mendapat ilham). Berkaitan dengan sifat pertamanya, fakhrurozy mengungkapkan,

“bila kita mengartikan nafs pada ayat diatas adalah fisik, maka kesempurnaannya pada fungsi semua anggota tubuh sebagaimana yang diungkapkan oleh ahli ilmu fisiologi, apabila kita mengartikannya suatu kekuatan dalam jiwa, maka kesempurnaanya tampak pada kekuatan dalam diri yang tampak pada pendayagunaan yang optimal pada pendengaran, penglihatan, imajinasi, pola pikir, dan daya ngat sebagaimana yang diarahkan dalam dunia psiklogi.”

Sedang Ibnu Katsir menambahkanmakna” dan jiwa serta penyempurnaanya“, atau sempurna penciptaanya karena disesuaikan dengan fitrahnya yang lurus.

Sayyid Qutb dalam mengiterpretasikan ayat ini dan yang sejenisnya mengungkapkan,

“sesungguhnya ayat tersebut mengungkapkan sepenuhnya pandangan islam terhadap diri manusia, yakni sebagai sempurna secara alami, sempura persiapan dalam penciptaanya, dan sempurna dalam arah dan tujuannya dalam hidup.”

Kesimpulan dari semua pendapat para pakar tafsir tentangayat diatas adalah bahwa ilham yang dimaksud adalah fitrah yang diterima manusia melaluijalan wahyu, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaanya.,” pada dasarnya kondisi diri manusia berada dalam satu kesempurnaan.lalu tampak dua pilihan bagi diri manusia, yakni jalankefasikan dan jalan ketakwaan. Hanya fitrah dan hidayahlah yang membuat manusia bisa membedakan keduanya dengan baik

c)Nafsu Saat Menjadi Lawwamah

Sebagian pakar ilmu tafsir berpendapat bahwa nafs lawwamah dialami oleh orang yang yang beriman, sedang sebagian lainnya berpendapat oleh orang yang beriman , sedang sebgaian yang lainnya berpendapat ia bias dialami oleh siapapun juga.[3] Kedua pendapat ini tidak aling bertentangan.laum atau penyesalan layaknya suatu proses yang dialami semua manusia. Perbedaannya hanya terletak pada jenis dan penyebabnya.

“Aku bersumpah demi hari kiamat, Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”(al-Qiyaamah : 1-2)

d)Nafsu Saat Menjadi Zakiyyah

Nafs Zakiyyah akan di alami individu bila ia mampu bermujahadah dan mengendalikan semua keburukan psikis yang mamou menjadi polusi bagi fisiknya. Dari yang suci hanya akan mencukupkan dirinya dengan semua dorongan biologis (baik itu makanan, minumandan juga dorongan seksualnya) dengan cara yang baik. Ia akan melepaskan diri dari semua keburukan yang mampu mengkontaminasikan jiwanya. Ia akan menjahukan diri dari keyakinan yang buruk, perkataan yang buruk, dan juga pekerjaan yang buruk. Allah berfirman:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”(asy-Syams: 7-10)

e)Nafsu Saat Menjadi Muthmainnah Radhiyyah

Di saat diri manusia ridha dengan konsep kehidupan yang telah dipilihnya, ridha dengan perilaku yang mengantarkanya kepada kebahagiaan dan ketenangan hidup, maka pada saat itulah kondisi dirinya berada jenjang tertinggi yakni nafs muthmainnah radhiyyah

Al-qur’an sendiri telah mengabarkan bahwa siapapun yang telah di anugerahi dengan keridhaan dan ketenangan dalam hidupnya di dunia maka iapun akan mendapatkan kebahagiaan yang sama di akhirat kelak. Itulah surga allah di dunia. Siapa pun yang tidak bias menggapainya maka ia tiakan mampu menggapai surga Allah di akhirat Allah berfirman:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (al-fajr: 27-30)

Surga dunia yang di maksud adalah satu bentuk keridhaan dalam diri yang bahagia. Inilah kehidupan yang kontradiksi dengan kehidupan yang sempit. Sebagai mana firman Allah:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta”.(Thaahaa: 124)

Ridhaaan adalah suatu nikmat yang terbesar dalam kehidupan di dunia, sebagaimana rasa inilah yang akan dirasakan oleh para penghuni surga. Keridhaan adalah suatu kebahagiaan yang menyelimuti diri manusia. Itulah maksudnya kenapa allah menjadikan keridhaan sebagai tujuan akhir dari semua usaha, yang ditutup dengan kehidupan bahagia dikala kembali kepada sang pencipta (Allah).[4]

C.KOMPONEN-KOMPONEN DALAM NAFS

Secara tersirat, al-Qur’an telah menyebutkan beberapa komponen yang ada pada nafs, yaitu:

1. Ruh

Secara garis besarnya, informasi akan ruh dalam al-Qur’an sangat minimalis. (17: 85). Tidak ada seorang pun yang dapat mendalaminya lebih dalam lagi kecuali hanya pada permukaannya saja. Al-Qur’an menyebutkan kata ulangnya sebanyak 24 kali dengan berbagai konteksnya dengan keberagaman maknanya, diantaranya: ruh sebagai nyawa yang menyebabkan seseorang hidup (17: 85), malaikat (26: 193), rahmat Allah (58: 22) dan al-Qur’an (42: 52). Rasulullah pernah menyinggung masalah ruh, dengan sabdanya:الأرواح جنود مُجَنَّدَةRuh-ruh adalah himpunan yang terorganisasi. Sedang dalam al-Qur’an sendiri di terangkan akan proses peniupan ruh dalam tubuh manusia (32: 7-9), hingga dipahami oleh sebagian manusia bahwasannya ruh adalah satu sinergi dari elemen-elemen sistem tubuh. Ruh muncul bersamaan dengan berfungsinya sistem organ tubuh manusia, sehingga kehadirannya dipahami sebagai sunatullah dengan rumusan jika x maka y. Dalam al-Qur`an banyak dijelaskan bagaimana Allah meniupkan sebagian ruhnya hingga manusia pun berhak menjadi wakilnya di muka bumi. Hal ini mengandung artian bahwasannya ruh memiliki daya spiritual yang mampu menarik manusia menuju Allah Daya inilah yang membuat manusia membutuhkan kisi-kisi kerohanian

2. Fitrah

Dari segi bahasa, fitrah mengambil akar kata dari الفطر yang berarti belahan. Dari makna inilah lahir makna lain antara lain ‘penciptaan’ atau ‘kejadian’. Secara umumnya, fitrah dalam hal ini adalah originalitas manusia pertama kalinya atau bawannya sejak lahir.Fitrah manusia adalah satu bingkai yang menjadi batasan dalam diri manusia. disaat manusia keluar dari batasan tersebut, maka bisa di katakan ia telah keluar dari fitrah kemanusiaannya, baik dalam artian positif ataupun negatifnya. Bisa jadi seorang individu kehilangan sisi kemanusiaannya dan cenderung melakukan kebaikan saja, maka ia seolah menyerupai malaikat. Dilain hal, bisa saja seorang individu kehilangan sisi spiritualitasnya hingga ia terjerebab dalam lingkaran syetan.Al-Qur’an menyebutkan pengulangan kata fitrah sebanyak 28 kali. 14 diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi; sisanya dalam konteks penciptaan manusia. Secara fitrahnya,manusia di ciptakan dengan desain yang sempurna (memiliki agama yang hanief (30: 30) hingga ia lebih mudah berbuat baik di banding berbuat jahat. (85: 5-7) dan memiliki rasa keadilan (85: 5-7). Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya menyebutkan bahwasannya Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia , baik dalam konteks jasmani ataupun akalnya. [1]Dari sini di pahami, bahwasannya manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah dalam konteks jasmaninya, sementara menarik kesimpulan melalui premis yang ada merupakan fitrah dalam konteks akalnya.

3. Qalb

Dari berbagai ayat al-Qur’an, akan didapati bahwasannya qalb menjadi satu alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai (22: 46, 7: 179) dan hanya menampung hal-hal yang disadarinya saja. Hal ini lalu menjadi landasan dasar, bahwa di hari kiamat, yang akan bertanggung jawab atas semua prillaku adalah qalb yang melakukan kesemuanya itu dengan penuh kesadaran. (2: 225). Ini menjadi satu isyarat bahwasannya keputusan yang di hasilkan qalb mengandung implikasi pahala dan dosa.Secara etimologisnya kata qalb mengandung makna berbolak-balik. Hal ini dikarena qalb tidak konsisten. Terkadang ia pada satu sisi, namun di suatu saat ia bisa berbalik arah. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara pemenuhan realitas dan nilai-nilai positif dengan tarikan negatif yang berasal dari kandungan hatinya. Proses yang ada dalam qalb inilah yang akhirnya mengantarkan manusia kepada kualitas qalb yang berbeda satu dan lainnya. Qalb memiliki dua daya, yaitu daya memahami dan daya merasakan. Dalam memahami, qalb menggunakan persepsi-dalam dan persepsi-luar. Daya memahami ini akan muncul hanya berfungsi pada qalb yang suci dan tidak terkontaminasi. Selain itu pula, qalb memiliki kemampuan merasakan. Disinilah ilham berperan. Sesungguhnya pengetahuan yang ada pada qalb bersifat supra-rasional.Qalb adalah satu bagian kecil dari nafs. Ia bagaikan satu kotak yang bisa disegel (2:7), hingga wajar bila dikatakan akan adanya kunci-kunci penutupnya (47: 7). Kotak ini pun bisa diperlebar dengan amal perbuatan, diperkecil, dipersempit dan lain sebagainya. (49: 3), (6: 125). Bila kita meneliti lebih jauh, kita akan mendapati kataصدورdada, yang bermakna qalb (94:1). Hal ini bisa di interpretasikan bahwasannya posisi qalb adalah di dada (22: 46).

4. Aql

Ayat-ayat al-qur’an menunjukkan bahwasannya manusia memiliki daya mengetahui. Daya ini muncul sebagai akibat adanya daya pikir, seperti tafakkur (memikirkan), nadzara (mengamati), i’tibâr (menginterpretasikan) dll. Selain itu pula, akal memiliki daya memahami, seperti tadabbur (memahami dengan seksama), ta’ammul (merenungkan), istibtsâr (melihat dengan mata batin), tadzakkur (mengingat) dll. Daya berpikir ini menggunakan alat indra sebagai sumber dalam memperoleh informasi dari luar, yang meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa lidah, peraba dll. Kesemuanya ini didasarkan pada 18 ayat yang menggunakan kata tafakkur. Kesemuanya membicarakan hal konkret yang berkaitan dengan hukum alam.Sedangkan daya memahami menggunakan persepsi-dalam, sebagaimana tampak dalam ayat-ayat yang menggunakan kata tadabbur. Kesemuanya membicarakan hal abstrak yaitu berupa ayat Allah di balik realitas maupun di balik teks[2]secara garis besar, pengetahun dan informasi yang di dapatkan akal lebih bersifat rasional. Akal dengan segala karakteristiknya akan menentukan tanggung jawabnya di hari akhirat kelak. Akallah yang suatu saat nanti akan bertanggung jawab atas segala amal, tingkah dan prilaku. Dengan demikian maka bisa dikatakan bahwasannya akal merupakan satu komponen penting dalam diri manusia. Selain qalb, akal dengan segala kerasionalannya mampu mengantarkan manusia kepada jalan yang lurus.Siapapun yang tidak mengotimalkan fungsi akal, maka sesungguhnya ia telah memilih jalan kesesatan. Akal yang tidak berfungsi inilah yang akhirnya membuat manusia mampu menyimpangkan dirinya dari kebenaran dan memposisikan dirinya untuk menjadi seseorang yang selalu gagal dalam hidup.Kata ‘aql’ sendiri tidak ditemukan dalam al-qur’an kecuali dalam bentuk kata kerja. Hal ini seolah mengisyaratkan bahwa proses berpikir dengan akal adalah kerja dan proses yang terus menerus dan bukan hasil perbuatan. Dari sini dapat dikatakan bahwasannya ‘aql bukanlah suatu substansi yang bereksistensi. Ia merupakan aktivitas dari suatu substansi. Bila dipahami demikian, maka apakah substansi ‘aql itu?.maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat berpikir.. (QS. Hajj: 46) Berlandaskan dengan ayat ini, para ulama, diantaranya Gazãliberpendapat bahwasannya yang ber’aql adalah qalb dan bukan otak, dengan pertimbangan sbb:1) akal sering disebut dengan nama qalb (21: 46, 7: 179, 50: 37). 2) tempat kebodohan dan lupa adalah qalb, hingga dengan demikian maka qalb merupakan tempat akal dan pemahaman (2: 7/10, 4: 155, 9: 64, 48: 11, 83: 14, 47: 29, 21: 43). 3). Apabila manusia berpikir secara berlebihan, maka qalbnya akan terasa jenuh dan sesak, sehingga ia seperti terkena penyakit. 4) qalb adalah organ yang bersinonim dengan ‘aql.

Sedang di sisi lain, Dr. Wahbah Zuhaili menyatakan bahwasannya yang berakal adalah otak, [3] dengan pertimbangan, 1) otak merupakan sistem pengingat manusia. ia mampu menentukan pilihan dan menggerakkan manusia; 2) alat yang dapat mencapai daya kognisi adalah otak; 3) apabila sistem otak rusak, maka manusia akan menjadi ‘gila’; 4) dalam keseharian, orang yang sedikit kecerdasannya dikatakan ‘lemah otak’. 5) akal mampu mencapai puncak kemuliaan, karena itulah ia terletak di kepala.‘Aql dari segi bahasa bermakna tali pengikat dan penghalang. Bisa dikatakan bahwasannya al-Qur’an mengartikan akal sebagai sesuatu yang mengikat dan menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa Sesungguhnya akal adalah pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Dengan akal manusia dapat menemukan, mengembangkan, mengkonstruksi dan bahkan menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan akal pula manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya.

5. Bashirah

Secara etimologisnya, bashara mengandung makna melihat. Dalam literarur arab, kalimat ini digunakan untuk indera penglihatan disertai dengan pandangan hati. (75: 14). Jika di hubungkan dengan manusia, maka ia memiliki empat makna: a) ketajaman hati, b) kecerdasan, c) kemantapan dalam beragama, dan d) keyakinan hati dalam hal agama dan realita. Dalam bahasa Indonesianya, ia lebih dikenal dengan sebutan ‘hati nurani’. Posisinya dalam sistem nafsani adalah sebagai pengingat, penegur danpengoreksi atas apa yang dilakukan oleh qalb dan aql, disaat keduanya berada dalam posisi menyimpang. Dalam surah al-qiyâmah (75: 14-15) disebutkan bahwasannya bashirah tetap bekerja walaupun manusia mengungkan seribu satu macam argumen yang menampiknya. Ibnu Qayyim mengungkapkan bahwasannya bashirah merupakan satu cahaya Allah yang ditiupkannya ke dalam qalb. Karenanyalah, ia tidak bisa di manipulasi; dan karena itu pula ia mampu memahami dengan jujur dan mengakui kebeneran agama.

6. Fu`âd

Pengulangan kata فؤادdengan beragam kata jadiannya terdapat dalam 16 ayat.. Tak sedikit yang mengartikannya sama sebagaimana mereka mengartikan qalb dan aql; bahkan ada sebagian yang mengartikannya otak sebagai bekal bagi janin untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Dilihat dari karakteristiknya, fu`âd selalu menyertai kemunculan indera memiliki kecenderungan dan juga dimintai tanggung jawab.

7. Syahwat dan hawa nafsu

Dalam al-Qur’an, syahwat di hubungkan dengan pikiran-pikiran yang di dorong oleh hawa nafsu (4: 27), dengan keinginan terhadap kelezatan dan kesenangan (3: 14, 19: 59) dan prilaku menyimpang (7: 81, 27: 55). Ini semua tidak terlepas dari asal kata syahwat شهي yang bermakna menginginkan kenikmatan. Dalam al-Qur’an di sebutkan bahwasannya objek yang dapat membawa seseorang kepada kenikmatan di dunia adalah wanita, keturunan danjuga harta. (3: 14). Sangat wajar bila manusia menginginkan kenikmatan dalam hidupnya. Namun adalah tak wajar apabila ia mendapatkannya dengan jalan yang salah.Sedangkan yang di maksud hawa nafsu adanya kecenderungan nafs kepada syahwat yang mengandung konotasi negatif. Syahwat dan hawa nafsu merupakan salah satu bentuk dorongan-dorongan yang ada pada nafs, baik dalam bentuk yang di sadari ataupun tidak disadari. Ia adalah satu satu penggerak tingkah laku, walaupun terkadang lebih di konotasikan sebagai penggerak tingkah laku negatif (12: 53).Apabila semua kerja komponen ini di visualisasikan, maka akan tampak bagaimana qalb bekerja memahami, mengolah, menampung realitas sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Qalb memiliki potensinya yang dinamis. Namun ia pun sangat temperamental, fluktuatif, emosional dan tidak bisa konsisten. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, qalb bekerja sama dengan aql dalam merasionalisasikan keadaan yang ada. Keselarasan keduanya itulah yang lebih di sebut sebagai pikir plus zikir. Disaat keduanya masih terkontaminasi oleh syahwat dan hawa nafsu dan menjerumuskan nafs, maka disinilah peran bashirah. ia memberikan sinyal, melakukan koreksinya serta mengingatkannya akan fu`adnya.Dengan kesatuan semua komponen inilah, maka nafs pun menjadi bertingkat sesuai dengan usaha yang dihasilkannya. Potensi Nafs dalam berbuat baik dan kecenderungannya kepada kenikmatan dengan jalan apapun, membuat nafs harus bisa mengendalikan dan menyeimbangankan semua komponen dalam dirinya. Disinilah semuanya berproses hingga memunculkan tingkah laku

III. KESIMPULAN

Dari uraian singkat di atas maka kami dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwasannya Nafs dalam pengetian Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

·Jiwa atau sesuatu yang memliki eksistensi dan hakikat. Nafs dalam artian ni terdiri atas tubuh dan ruh.

·Nyawa yang memicu adanya kehidupan.apabila nyawa hilang, maka kematianpun menghampiri.

·Diri atau suatu tempat diman hati nurani bersemayam.

·Suatu sifat pada diri manusia yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan juga kejahatan.

Sedangkan komponen yang terdapat dalam Nafs dapat dikategorikan sebagai berikut:

* Ruh
* Fitrah
* Qalb
* Aql
* Bashirah
* Fu`âd
* Syahwat dan hawa

IV. DAFTAR PUSTAKA

* Shalih, Muhammad Al-Utsaimin. Tafsir Juz’amma. Pustaka At-Tibyan:Solo, 1988
* Taufiq, Muhammad Izzuddin. Panduan lengkap dan praktis Psikologi Islam. Gema Insan:Jakarta, 2006

* Muhammad, Abdullah Dkk.Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Pustaka Imam asy-Syafi’i:Jakarta, 2006
* Adnan Syarif.Psikologi Qurani.Pustaka Hidayah:Bandung,1987

[1]Lihat muhammad izzuddin taufiq (psikologi islam) hal-70

[2]Lihat tafsir ibnu katsir jilid 4 hal-430-432

[3]Ibnul jauzy berpendapat berpendapat dalam bukunya zadul Masir jilid 8 hal-133

4.tafsir juz’amma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar