Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Powered By Blogger

Rabu, 15 Desember 2010

Tasawuf Imam Ghazali

A. Penimages-gazalidahuluan

Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk mengobati kehampaan tersebut.

Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.

Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.

B. Sekilas Tentang al-Ghazali

Al- Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.

Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran.[1] Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.

C. Pendidikan Al-Ghozali

Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al – Razkani al – Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al – Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al – Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al – Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al – Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh. Setelah Imam al – Juwaini wafat ia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H, disamping memberikan kuliah, ia juga mengkaji filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kecermelangan, keharuman namanya dan kesenangan duniawi yang melimpah ruah di Baghdad melebihi ketika ia di Mu’askar, dikota ini ia sakit dan secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kegemerlapan duniawi tersebut.

D. Sosio Politik

Al-Ghozali hidup pada saat keadaan politik yang kacau. Pada saat itu pemerintahan Abbasiah sudah tidak ada pengaruhnya dengan munculnya Dailami Saljuk kemudian Qowamuddin Nizamul Mulk selain itu juga terjadi perang saudara.

E. Sosio Ekonomi

Al–Ghazali adalah anak dari seorang yang wara’ yang hanya makan dari usahanya sendiri, dengan pekerjaan memintal dan menjual wol di sebuah toko tua di kota Thus Propinsi Khurasa, wilayah Persi. Meski pekerjaan ayahnya tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari, namun ayahnya adalah seseorang yang cinta dengan Ulama’ selain itu dia terus menerus meminta kepada Tuhan (Allah SWT) agar anak – anaknya senantiasa mendapat anugerah dan hidayah dari Allah SWT supaya menjadi anak yang berguna dan berpengetahuan luas. Dengan penuh harapan kiranya kedua putranya kelak dapat memenuhi harapan dan keinginannya. Selain itu keadaan perekonomian dinegara itu sedang kacau, karena adanya kholifah yang korupsi, sehingga menyebabkan banyaknya kefakiran.

F. Al-Ghazali dan Tasawuf

Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, “Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.

Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.[2]

Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.[3]

Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[4]

G. Konsep Ma’rifat al-Ghazali

Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.[5]

Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.

Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.

Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.[6]

Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[7]

Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.

Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam.

Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”

Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.

Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.

Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.

Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.

H. Penyebaran ajaran Tasawuf Al-Ghazali

Al Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di dunia. Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau yang terkenal dengan nama Ikhya’ Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama). Dalam kitab ini pembahasannya dibagi menjadi empat bab dan masing-masing dibagi lagi menjadi 10 pasal, yaitu:

Pada bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah). Bab kedua: tentang adat istiadat (rubu’ al – adat). Bab ketiga: tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu’ al – muhlikat). Sedangkan bab yang keempat: tentang maqamat dan ahwal (rubu’ al – munjiyat). Namun yang menjadi isi pokok pada kitab tersebut adalah ikhlas dengan tauhid Allah dan Ikhlas menjalankan tauhid Allah. Namun yang menjadi kekurangannya adalah al ghazali tidak membahas tentang jihad dalam kitab tersebut, padahal pada saat itu dalam keadaan perang.

I. Penutup

Demikianlah sedikit uraian tentang konsep tasawuf al-Ghazali. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang geliat al-Ghazali dalam dunia tasawuf . Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca Wallâhul hâdî ilâ sabîli al-rasyâd.

*Ditulis oleh: Misbahus Surur (Mahasiswa STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang).

[1] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al-Ghazali. Hal 3

[2] Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Prof Dr Amin Syukur, MA dan Drs Masyharuddin, MA.

[3] Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, Dr. Muhammad Musthafa Hilmi. Hal 124

[4] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.

[5] Tasawuf, Harun Nasution. Makalah Paramadina hal 4

[6] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.jilid 4 Hal 235

[7] Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad

Jumat, 10 Desember 2010

Takhalli, Tahalli, dan Tajalli

Manusia dilengkapi oleh Allah dua hal pokok, yaitu jasmani dan rohani. Dua hal ini memiliki keperluan masing-masing. Jasmani membutuhkan makan, minum, pelampiasan syahwat, keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan kemasyhuran. Rohani, pada sisi lain, membutuhkan kedamaian, ketenteraman, kasih-sayang dan cinta.

Para sufi menegaskan bahwa hakekat sesungguhnya manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan. Kebahagiaan badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang, kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia. Sebagai inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah rohani adalah kemuliaan, jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia harus bersih.

Dalam rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.

Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi.

Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia.

Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.

Setelah tahap pengosongan dan pengisian, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wataala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridhoan-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai maâ'rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.

Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, manusia sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi seorang malaikat yang berbadan manusia. Rohaninya telah mencapai ketinggian kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang yang telah masuk pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah. Orang-orang yang telah memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai derajat tertinggi kerohanian manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah, Maâ'ruf al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi, Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan lain sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup dapat ditemui, yaitu kebahagiaan sejati.

10 Ayat menjadi komunikator yang efektif.

Dari satu sisi komunikator adalah mereka yang menyampaikan gagasan dan informasi kapada pihak lain. Tetapi di sisi lain sang komunikator wajib mendengar! Tulisan ini menyoroti pentingnya seorang pemimpin yang berperanan sebagai komunikator sedikit menahan emosi dan perasaannya untuk berbicara. Dengan kemampuan untuk mendengar aspirasi bawahan atau pihak yang lain ternyata komunikasi seorang pemimpin lebih bisa dimengerti. Membuat orang lain mengerti memang penting, sebab gagasan kita bisa masuk dan bisa terlaksana. Berusaha untuk berhenti bicara dan mendengarkan apa yang menjadi gagasan orang lain, sebaliknya membuat komunikasi berjalan timbal balik disusul adanya saling pengertian antara pihak-pihak yang terkait di dalam sebuah organisasi. Ayat-ayat untuk menjadi komunikator yang efektif, dari sisi mendengar aspirasi adalah:
1.Berhentilah bicara--sebab begitu kita mulai membuka mulut, usaha kita ditujukan sepenuhnya untuk membuat orang lain mengerti. Rangkaian argumen yang kita ungkapkan hanya untuk memperkuat posisi. Belajar untuk berhenti bicara bukanlah persolan yang mudah terutama bagi orang-orang yang merasa memiliki jabatan penting dan menganggap orang yang dihadapinya lebih rendah posisinya.
2.Biarkan orang lain bicara dengan leluasa--sebab apa yang dipikirkan dan juga dirasakan orang lain merupakan energi yang kuat untuk bekerja atau berhenti bekerja. Biarkan orang lain memiliki kesempatan yang cukup nyaman untuk mengutarakan segala gagasannya. Sering kali ide-ide brilian justru muncul dari arah yang tidak pernah kita sangka-sangka sebelumnya. Syarat untuk menjaring ide-ide cemerlang adalah kemampuan untuk menahan diri tidak menyela pembicaran orang lain.
3.Berikan apresiasi dan perhatian kepada pembicara--sebab sesederhana apapun yang disampaikan seorang pembicara, perlu diketahui adanya gunung es yang masih tersembunyi dibalik keberanian si pembicara untuk membuka mulut. Jangan ada keinginan untuk memotong pembicaraan orang lain dengan alasan bahwa waktu rapat sangat terbatas atau dengan mengatakan sebaiknya gagasan orang itu dituliskan saja.
4.Janganlah menyela dan mengganggu pembicara--sebab pembicara ingin sekali mendapatkan perhatian, memalingkan wajah pun sangat mengganggu perasaan dari pembicara. Sangat tidak dibenarkan bila kita memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara, sementara kita menulis atau membaca koran, misalnya. Kalaupun pembicara dan pendengar itu terhalang oleh hiasan bunga di meja, kita perlu segera memindahkannya. Biarkan si pembicara tuntas menyuarakan pikirannya.
5.Berusaha mencermati uraian yang disampaikan--dengan memperhatikan segala hal yang terkait kita harus bisa melihat pesan itu dari isi, bahasa dan konteks yang muncul dalam pembicaraan. Pemahaman terhadap karakter pembicara pun sangat berguna untuk mengambil intisari pembicaraannya.
6.Usahakan untuk bersabar mendengar pembicaraan--sehingga kita tidak perlu menyela dan segera ingin menjawab sesuai dengan argumen yang kita yakini. Jika kesabaran kita bisa dirasakan oleh pembicara, kita berada pada posisi yang aman.
7.Berusaha untuk menahan segala macam emosi--yang mungkin muncul sebagai reaksi spontan atas pembicaraan yang disampaikan. Kebalikan dengan sikap sabar, kalau kita mengumbar emosi dan naik pitam, segala pertimbangan kita menjadi negatif dan tidak akan menyelesaikan masalah.
8.Seandainya kita merasa perlu berargumen, sampaikan dengan cara yang santun dan bijaksana--sebab usaha memberikan kesempatan berbicara adalah sarana komunikasi yang saling menguntungkan, tidak untuk memenangkan satu pihak terhadap pihak lainnya.
9.Gunakan strategi bertanya untuk menggali informasi lebih dalam--sebab selalu ada hal-hal yang tak terungkap atau belum sempat diutarakan oleh seseorang yang berbicara. Bertanya menjadi sarana untuk memastikan keinginan pembicara yang sebenarnya.
10.Berhentilah bicara--sebab betapapun pentingnya pikiran kita, kita belum akan bisa memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara bila kita tidak menahan mulut untuk bersuara. Strategi mendengar yang efektif adalah dengan diam dan menyimak pembicaraan. Ini juga bisa menjadi waktu bagi kita untuk berpikir lebih jernih.

10 ayat menjadi komunikator yang efektif ini saya ambil dari buku-buku manajemen yang mudah-mudahan bisa kita ambil manfaatnya.

Proses komunikasi

Proses komunikasi adalah bagaimana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya, sehingga dapat dapat menciptakan suatu persamaan makna antara komunikan dengan komunikatornya. Proses komunikasi ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi yag efektif (sesuai dengan tujuan komunikasi pada umumnya).Proses komunikasi, banyak melalui perkembangan.
Proses komunikasi dapat terjadi apabila ada interaksi antar manusia dan ada penyampaian pesan untuk mewujudkan motif komunikasi. Tahapan proses komunikasi adalah sebagai berikut :
(1) Penginterprestasian, yang diinterpretasikan adalah motif komunikasi, terjadi dalam diri komunikator. Artinya, proses komunikasi tahap 1 bermula sejak motif komunikasi muncul hingga akal budi komunikator berhasil menginterpretasikan apa yang ia pikir dan rasakan ke dalam pesan – masih abstrak. Proses penerjemahan motif komunikasi ke dalam pesan disebut interpreting.
(2) Penyandian, tahap ini masih ada dalam komunikator dari pesan yang bersifat abstrak berhasil diwujudkan akal budi manusia ke dalam lambang komunikasi. Tahap ini disebut encoding, akal budi manusia berfungsi sebagai encorder, alat penyandi : merubah pesan abstrak menjadi konkret.
(3) Pengiriman, proses ini terjadi ketika komunikator melakukan tindakan komunikasi, mengirim lambang komunikasi dengan peralatan jasmaniah yang disebut transmitter, alat pengirim pesan.
(4) Perjalanan, terjadi antara komunikator dan komunikan, sejak pesan dikirim hingga pesan diterima oleh komunikan.
(5) Penerimaan, tahapan ini ditandai dengan diterimanya lambang komunikasi melalui peralatan jasmaniah komunikan.
(6) Penyandian balik, tahap ini terjadi pada diri komunikan sejak lambang komunikasi diterima melalui peralatan yang berfungsi sebagai receiver hingga akal budinya berhasil menguraikannya (decoding).
(7) Penginterpretasian, tahap ini terjadi pada komunikan, sejak lambang komuikasi berhasil diurai dalam bentuk pesan.


Proses komunikasi dapat dilihat dari beberapa perspektif :
(1) Perspektif psikologis
Perspektif ini merupakan tahapan komunikator pada proses encoding, kemudian hasil encoding ditransmisikan kepada komunikan sehingga terjadi komunikasi interpersonal.
(2) Perspektif mekanis
Perspektif ini merupakan tahapan disaat komunikator mentransfer pesan dengan bahasa verbal/non verbal. Komunikasi ini dibedakan :
a. Proses komunikasi primer
Adalah penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan menggunakan lambang sebagai media.
b. Proses komunikasi sekunder
Merupakan penyampaian pesan dengan menggunakan alat setelah memakai lambang sebagai media pertama.
c. Proses komunikasi linier
Penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal.
d. Proses komunikasi sirkular
Terjadinya feedback atau umpan balik dari komunikan ke komunikator.
Kesimpulan adanya proses komunikasi:
Komunikasi bersifat dinamis, tahapan proses komunikasi bermanfaat untuk analisis, proses komunikasi dapat terhenti setiap saat, pesan komunikasi tidak harus diterima, tindak komunikasi merupakan indikasi komunikasi.

pengertian komunikator

komunikator adalah pemyataan sebagai paduan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan, imbauan, anjuran, dan sebagainya. Pernyataan tersebut dibawakan oleh lambang, umumnya bahasa. Dikatakan bahwa umumnya bahasa yang dipergunakan untuk menyalurkan pemyataan itu, sebab ada juga lambang lain yang dipergunakan, antara lain kial - yakni gerakan anggota tubuh - gambar, warna, dan sebagainya. Melambaikan tangan, mengedipkan mata, mencibirkan bibir, atau menganggukkan kepala adalah kial yang merupakan lambang untuk menunjukkan perasaan atau pikiran seseorang. Gambar, apakah itu foto, lukisan, sketsa, karikatur, diagram, grafik, atau lain-lainnya, adalah lambang yangbiasa digunakan untuk menyampaikan pemyataan seseorang. Demikian pula warna, seperti pada lampu lalu lintas: merah berarti berhenti, kuning berarti siap, dan hijau berarti berjalan; kesemuanya itu lambang yang dipergunakan polisi lalu lintas untuk menyampaikan instruksi kepada para pemakai jalan. Di antara sekian banyak lambang yang biaa digunakan dalam komunikasi adalah bahasa, sebab bahasa dapat menunjukkan pemyataan seseorang mengenai hal-hal, selain yang kongkret juga yang abstrak, baik yang terjadi saat sekarang maupun waktu yang lalu dan masa yang akan datang. Tidak demikian kemampuan lambang-lambang lainnya.Yang penting dalam komunikasi ialah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yakni: a. dampak kognitif, b. dampak afektif, c. dampak behavioral Dampak kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Di sini pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada pikiran si komunikan. Dengan lain perkataan, tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran diri komunikan. Dampak afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini tujuan komunikator bukan hanya sekadar supaya komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.
Yang paling tinggi kadarnya adalah dampak behavioral, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan. Untuk contoh mengenai ketiga jenis dampak di atas dapat diambil dari berita surat kabar. Pernah sebuah surat kabar membuat berita yang dilengkapi foto mengenai seorang wanita yang menderita tumor yang menahun sehingga pemtnya besar tak terperikan. Peristiwa yang diberitakan lengkap dengan fotonya itu menarik perhatian banyak pembaca. Berita tersebut dapat menimbulkan berbagai jenis efek. Jika seorang pembaca hanya tertarik untuk membacanya saja dan kemudian ia menjadi tahu, maka dampaknya hanya berkadar kognitif saja. Apabila ia merasa iba atas penderitaan perempuan yang hidupiya tidak berkecukupan itu, berita tersebut menimbulkan dampak afektif. Tetapi kalau si pembaca yang tersentuh hatinya itu, kemudian pergi ke redaksi surat kabar yang memberitakannya dan menyerahkan sejumlah uang untuk disampaikan kepada si penderita, maka berita tadi menimbulkan dampak behavioral.

KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI

1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi merupakan medium penting bagi pembentukan atau pengembangan pribadi untuk kontak sosial. Melalui komunikasi seseorang tumbuh dan belajar, menemukan pribadi kita dan orang lain, kita bergaul, bersahabat, bermusuhan, mencintai atau mengasihi orang lain, membenci orang lain dan sebagainya.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari bahasa Latin Communicatio, dan bersumber dari kata Communis yang berarti sama atau sama makna.
Secara sederhana komunikasi dapat dirumuskan sebagai proses pengoperan isi pesan berupa lambang-Iambang dari komunikator kepada komunikan. Pengertian komunikasi menurut Dale Yoder, dkk dalam Surakhmat (2006:17), Communication is the interchange of information, ideas, attitudes, thoughts, and/or opinions. Komunikasi adalah pertukaran informasi, ide, sikap, pikiran dan/atau pendapat.
Berangkat dari definisi tersebut di atas, komunikasi berarti sama-sama membagi ide-ide. Apabila seseorang berbicara dan temannya tidak mendengarkan dia, maka di sini tidak ada pembagian dan tidak ada komunikasi. Apabila orang pertarna menulis dalam bahasa Inggris dan orang kedua tidak dapat membaca bahasa Inggris, maka tidak ada pembagian dan tidak ada komunikasi. Pada dasarnya komunikasi tidak hanya berupa memberitahukan dan mendengarkan saja.
Komunikasi harus mengandung pembagian ide, pikiran, fakta atau pendapat Ahli-ahli ilmu Jiwa juga menaruh perhatian terhadap komunikasi, Mereka menekankan masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi dalam proses komunikasi tentang memprakarsai, menyampaikan, dan menerima informasi. Mereka juga memusatkan perhatian pada pengenalan rintangan-rintangan yang terhadap komunikasi yang baik, khususnya rintangan-rintangan yang bersangkutan dengan hubungan antar perseorangan dari orang-orang.
Adapun komunikasi terdiri dari enam jenis sebagaimana berikut ini:
A. Komunikasi intrapersonal, yaitu komunikasi dengan diri sendiri, baik disadari maupun tidak
B. Komunikasi antarpribadi (interpersonal), yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal. Bentuk khusus dari komunikasi antar pribadi adalah komunikasi diadik yang melibatkan hanya dua orang saja.
C. Komunikasi Kelompck, yaitu sekumoulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sa:m:l lain l’ntuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya dan memandang mereka bagian dari kelompok tersebut.
D. Komunikasi Publik, yaitu komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak) yang tidak dikenal satu persatu.
E. Komunikasi Organisasi, komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi, yang bersifat informal dan berlangsung dalam jaringan yang lebih besar dari pada komunikasi kelompok.
F. Komunikasi Massa, yaitu yang menggunakan media massa, baik cetak atau e!ektronik, yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat, anonim dan heterogen.
Jenis komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi antarpribadi.
2. Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi Antarpribadi merupakan medium penting bagi pembentukan atau pengembangan pribadi dan untuk kontak sosial. Melalui komunikasi kita tumbuh dan belajar, kita menemukan pribadi kita dan orang lain, kita bergaul, bersahabat, menemukan kasih sayang, bermusuhan, membenci orang lain, dan sebagainya. Komunikasi tidak lain merupakan interaksi simbolik. Manusia dalam berkomunikasi lebih pada memanipulasi lambang-lambang dari berbagai benda. Semakin tinggi tingkat peradaban manusia semakin maju orientasi masyarakatnya terhadap lambang-lambang. Liliweri (1997:13) dalam Tamsil (2005:8) menyebutkan beberapa ciri komunikasi antarpribadi, yaitu:
1. Arus pesan dua arah.
2. Konteks komunikasi adalah tatap muka.
3. Tingkat umpan balik yang tinggi.
4. Kemampuan untuk mengatasi tingkat selektivitas yang tinggi.
5. Kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban.
6. Efek yang terjadi antara lain perubahan sikap.
Perlu juga sebelum mendefinisikan komunikasi antarpribadi kita harus memahami perbedaan komunikasi antarpribadi dan komunikasi non antarpribadi.
Asumsi dasar komunikasi antarpribadi adalah bahwa setiap orang yang berkomunikasi akan membuat prediksi pada data psikologis tentang efek atau perilaku komunikasinya, yaitu bagaimana pihak yang menerima pesan memberikan reaksinya. Jika menurut persepsi komunikator reaksi komunikan menyenangkan maka ia akan merasa bahwa komunikasinya telah berhasil.
Setiap berkomunikasi dengan orang lain kita secara tidak langsung membuat prediksi tentang efek dan prilaku komunikasinya. Menurut Miller ada tiga tingkatan analisis yang digunakan dalam melakukan prediksi, yaitu: tingkat kultural, tingkat sosiologis, dan tingkat psikologis.
Analisis pada tingkat kultural. Untuk itu kita seharusnya menyamakan pemahaman dulu tentang konsep kultur atau budaya. Budaya adalah akal budi manusia, yang pada analisis ini individu tersebut berusaha menyamakan persepsi pada tataran karya akal budi manusia yang terikat dalam bahasa, kebiasaan, norma sosial yang berlaku dimasyarakat tersebut, serta hal-hal mengenai penggolongan kultur tertentu terhadap sifat-sifat yang mengikutinya berdasarkan stereotype. Contoh: disuatu sore penulis bertemu pak Ujo yang sedang lari-lari kecil. Ia menyapa saya dengan hangat saat saya duduk dipinggir lapangan bola Universitas Hasanuddin Makassar. “Ghak lari dhe? Bhiar sehat. Yuu!!”. Persepsi awal penulis terhadap pak Ujo adalah orang suku Jawa, berdasarkan gaya bahasa dan penekanan kata.
Analisis pada tingkat sosiologis. Pada analisis ini individu untuk itu tingkat analisis ini lebih kepada generalisasi rangsangan berdasarkan kerangka pengalaman dan kerangka intelektual yang dihubungkan antara karakteristik objek pengamatan kepada kelompok sosial tertentu. Maksudnya, pada tahapan ini individu melakukan prediksi berdasarkan generalisasi masyarakat secara umum terhadap karakteristik objek pengamatan. Kecirian yang diikuti pemberian label menjadi jawaban dari penilaian sementara individu tersebut. Contoh: saat pak Ujo selesai menyapa, saya pun tersenyum, sebelum membalas sapaan pak Ujo saya mengamati karakteristik pak Ujo: berkepala botak, berkacamata yang mempunyai rantai, serta berperut melebar. Maka saya mengambil kesimpulan bahwa pak Ujo adalah seorang dosen sekelas profesor. “iye pak, lagi tidak enak badan ki saya pak” dengan tubuh sedikit membukuk dan senyuman yang disulap sedemikian rupa agar terlihat tulus.
Analisis pada tingkat psikologis. Apabila prediksi/prakira yang dibuat komunikator terhadap reaksi komunikan sebagai akibat menerima suatu pesan didasarkan atas analisis pengalaman individual yang unik dari komunikan, maka dapat diaktakan komunikator melakukan prediksi pada tataran psikologis.
Tiap indifidu mempunyai watak dan kepribadian yang tak sama dengan orang lain, karena ini merupakan hasil tempaan dan terbentuk berdasarkan pengalaman dimasa lalu. Apabila dua individu yang melakukan komunikasi bisa saling mengerti dan memahami kepribadian dan watak masing-masing, baru dapat dikatakan bahwa satu sama lain dalam berkomunikasi melakukan prediksi atas data psikologis. Selain itu, pada tataran ini kedua individu yang melakukan interaksipun telah mengalami pembiasan norma yang berlaku diantara mereka. Yang tadinya pada tataran kultural dan sosiologis kedua individu tersebut masih berinteraksi dengan menggunakan norma konvensional yang berlaku dimasyarakat, tetapi pada tataran psikologis individu yang beriteraksi menggunakan norma relational yang hanya dipahami oleh mereka berdua berdasarkan pengalaman dari pola dan kesepakatan mereka berdua.
Atas dasar uraian diatas, maka dapat dibedakan antara komunikasi antarpribadi dengan komunikasi non antarpribadi. Apabila prediksi mengenai hasil komunikasi didasarkan pada analisis tingkat atau tataran psikologis, maka pihak-pihak yang berkomunikasi terlibat dalam komunikasi antarpribadi, begitu pula sebaliknya.


Dari beberapa uraian diatas berdasarkan ciri dan perbedaan komunikasi antarpribadi dan non-antarpribadi maka penulis berusaha mencirikan komunikasi antarpribadi sebagai berikut:
1. Prediksi pada tataran psikologis
2. Konteks komunikasi adalah tatap muka
3. Terjadi pada ruang lingkup indifidu yang sempit(sedikit orang)
4. Norma yang berlaku cenderung relational
5. Arus pesan dua arah
6. Komunikasi antarpribadi adalah verbal dan non-verbal.
7. komunikasi antarpribadi saling mempengaruhi dan mengubah
Dari uraian serta rangkuman ciri dari komunikasi antarpribadi, penulis mendefinisikan komunikasi antarpribadi sebagai sebuah interaksi tatap muka secara verbal dan non-verbal pada tataran psikologis antara individu yang satu dengan individu yang lain, yang memiliki norma relational berdasarkan kesepakatan individu-individu tersebut, dimana arus pesan terjadi dari dua arah secara aktif serta saling mempengaruhi dan mengubah satu sama lain.
Tatap muka, penulis memaknai pengertian yang diberikan Deddy Mulyana dalam bukunya penganta ilmu komunikasi sebagaimana tatap muka mempunyai sebuah efek lebih kepada indifidu yang melakuakan aktifitas kumunikasi. Serta lebih kepada penekanan analisa apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya.
Verbal dan non verbal berangkat dari pemahaman bagaimana pesan itu dikemas, seperti komunikasi pada umumnya selalu mencakup dua unsur pokok; isi pesan dan bagaimana isi itu dikatakan, baik secara verbal(tersurat) maupun non verbal(tersirat).
Tataran psikologis yang dimaksud sepaham dengan penjabaran Miller dan Steinberg (1975) dalam Jurnal Komunikasi Antarpribadi Universitas Terbuka (hal 4), bahwa pada tataran psikologislah suatu komunikasi bisa dikatakan komunikasi antarpribadi.
Hubungan relational berangkat dari pendapat Milller dalam Rakhmat (2004:119):
Understanding the interpersonal communication process demands an understanding of the symbitic relationship between communication and relational development: comunication influences relational development , and in turn(simoultaneously), relational development influences the nature communication between parties to the relationship.
(memahami proses komunikasi interpersonal(antarpribadi) menuntut pemahaman hubungan simbiotis antara komunikasi dengan perkembangan relational: komunikasi mempengaruhi perkembangan relational, dan pada gilirannya(secara serentak), perkembangan relational mempengaruhi sifat komunikasi antar pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut).
Setelah kita memahami pengertian komunikasi antarpribadi, dalam perjalanannya antara komunikasi antarpribadi kepada sebuah konsep diri sebaiknya kita memberikan sedikit pemarapan tentang ciri komunikasi antarpribadi yang efektif menurut de Vito dalam Tamsil (2005:30) :
1. Keterbukaan (Opennes)
Sikap keterbukaan paling tidak menunjuk pada dua aspek dalam komunikasi antarpribadi. Pertama, kita harus terbuka pada orang lain yang berinteraksi dengan kita, yang penting adalah adanya kemauan untuk membuka diri pada masalah-masalah yang umum, agar orang lain mampu mengetahui pendapat, gagasan, atau pikiran kita sehingga komunikasi akan mudah dilakukan.
Kedua, dari keterbukaan menunjuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain secara jujur dan terus terang terhadap segala sesuatu yang dikatakannya.
2. Positif (Positiveness)
Memiliki perilaku positif yakni berpikir positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
3. Kesamaan (Equality)
Keefektifan komunikasi antarpribadi juga ditentukan oleh kesamaan-kesamaan yang dimiliki pelakunya. Seperti nilai, sikap, watak, perilaku, kebiasaan, pengalaman, dan sebagainya.
4. Empati (Empathy)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi atau peranan orang lain. dalam arti bahwa seseorang secara emosional maupun intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami orang lain.
5. Dukungan (Supportiveness)
Komunikasi antarpribadi akan efektif bila dalam diri seseorang ada perilaku supportif. Maksudnya satu dengan yang lainnya saling memberikan dukungan terhadap pesan yang disampaikan.

Psikologi Komunikator

Ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh bukan saja yang ia sampaikan, tetapi juga keadaan diri sendiri. He doesn’t communicate what he says, he communicate what he is. Ia tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan. Pendengar juga akan memperhatikan siapa yang mengatakan. Kadang-kadang siapa lebih penting dari pada apa. Kita akan lebih mendengarkan kata-kata dari seorang ahli dari pada orang lainnya. Contohnya, kita pasti akan sukar mempercayai petunjuk memasak dari seorang polisi, bimbingan belajar dari seorang residifis, atau cara mengaji yang benar dari seorang dukun.
Aristoteles menulis : Persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicara, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih percaya pada orang-orang baik daripada orang lain. Ini berlaku umumnya pada masalah apa saja dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi.
Aristoteles menyebut karakter komunikator ini sebagai ethos. Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good sense, good moral character, good will).
Hovland dan Weiss menyebut ethos ini sebagai credibility, yang terdiri dari dua unsur : Expertise (keahlian) dan Trustworthiness (dapat dipercaya). Contoh kasus ketika kita lebih mempercayai nasihat dokter karena ia memiliki keahlian, sebaliknya kita sukar percaya kepada pedagang yang memuji dagangannya. Di sini, pedagang tidak memiliki trustworthiness. Kita tidak hanya melihat pada pada kredibilitas sebagai faktor yang mempengaruhi efektivitas sumber. Kita juga akan melihat dua unsur lainnya : atraksi komunikator (source attractiveness) dan kekuasaan (source power) dan selanjutnya kita akan membahas mengenai dimensi-dimensi ethos.

Dimensi-dimensi Ethos
Telah dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikator terdiri dari kredibilitas, atraksi dan kekuasaan. Ketiga dimensi ini berhubungan dengan jenis pengaruh sosial yang ditimbulkannya. Menurut Herbert C. Kelman pengaruh komunikasi kita terhadap orang lain ada tiga hal : internalisasi, identifikasi, dan ketundukan.
Internalisasi terjadi apabila orang menerima pengaruh karena perilaku yang dianjurkan itu sesuai dengan sistem nilai yang dimilikinya. Kita menerima gagasan, pikiran, atau anjuran orang lain, karena gagasan, pikiran atau anjuran tersebut berguna untuk memecahkan masalah, penting dalam menunjukan arah, atau dituntut oleh sistem nilai kita. Internalisasi terjadi ketika kita menerima anjuran dari seseorang atas dasar rasional.
Identifikasi terjadi bila individu mengambil perilaku yang berasal dari orang atau kelompok lain karena perilaku itu berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri secara memuaskan (satisfying self-defining relationship)dengan orang atau kelompok itu. Hubungan yang mendefinisikan diri artinya memperjelas konsep diri. Dalam identifikasi, individu mendefinisikan peranannya sesuai dengan orang yang mempengaruhinya.
Ketundukan terjadi apabila individu menerima pengaruh dari orang atau kelompok tersebut. Ia ingin memperoleh reaksi yang menyenangkan dari orang atau kelompok tersebut. Ia ingin memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman dari pihak yang mempengaruhinya. Dalam ketundukan, orang menerima perilaku yang dianjurkan bukan karena mempercayainya, tetapi karena perilaku tersebut membantunya mendapatkan efek sosial yang memuaskan dari lingkungannya.

EFEK TAYANGAN KEKERASAN DI TV

A. LATAR BELAKANG

Apabila kita membicarakan tentang kekerasan, mungkin kita akan merasa ngeri, takut, marah, atau bahkan takut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah terlepas dari kekerasan. Entah kita ini sebagai pelaku kekerasan, korban kekerasan, ataupun hanya sebagai saksi atas kekerasan yang dialami oleh orang lain. Sebenarnya, Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah "kekerasan" juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk -- kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak -- seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.

Perilaku kekerasan semakin hari semakin nampak, dan sungguh sangat mengganggu ketentraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh karena kekerasan tersebut. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di masyarakat baik dilihat dari kacamata nasional maupun internasional.

Saat ini kita sebagai bangsa sudah dituding oleh beberapa negara lain sebagai sarang teroris, terlepas dari benar tidaknya tudingan itu. Di mata mancanegara, hidup di Indonesia menyeramkan. Sedangkan sebaliknya, kita di negri ini yang setiap hari hampir tak pernah bebas dari berita-berita kekerasan, mulai dibelajarkan dan terbiasa. Tuntutan untuk survive dan ketidakmungkinan untuk mengelakkan, menyebabkan masyarakat belajar hidup dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Dan pada akhirnya perlahan-lahan kita mulai menerima karena terbiasa.

Kalau tiba-tiba jalanan macet tanpa sebab, kita tidak lagi panik, tapi langsung berpikir kalau bukan demo, pelajar berkelahi atau ada bom. Dengan jawaban itu ada semacam ketenangan, sesuatu yang sering terjadi yang menyebabkan respon yang ditimbulkan menjadi biasa-biasa saja.

Perilaku kekerasan dapat dipicu oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya kekerasan adalah peniruan tindak kekerasan dari berbagai media pemberitaan. Seperti yang kita ketahui saat ini, banyak sekali berita-berita yang menggambarkan kekerasan seperti berita kriminal, konflik, ataupun kerusuhan. Berita-berita itu dimuat dalam berbagai media, baik itu media cetak seperti majalah dan koran maupun media elektronik seperti televisi, radio, dan internet.

Dari semua media tersebut, yang paling sering diperhatikan oleh masyarakat adalah tayangan kekerasan dari televisi. Hampir setiap warga masyarakat memiliki televisi. Televisi telah menjadi sebuah barang kebutuhan dalam sebuah rumah tangga. Televisi hanyalah sebuah kotak yang bisa dimatikan atau dibuang, bisa sebagai sumber malapetaka atau sumber pengetahuan. Kendali utama mestinya tetap pada pencipta televisi, yakni manusia. Banyaknya bukti dampak tayangan kekerasan hendaknya menjadi informasi tambahan untuk mengkaji ulang perilaku kita dalam menonton televisi. Sudahkah kita menjadikan televisi sebagai pilihan di antara banyak pilihan aktivitas positif lain dalam melepas kepenatan, atau televisi yang menguasai setiap detik kehidupan kita? Selain mempunyai sisi positif, keberadaan televisi juga bisa menimbulkan efek negatif. Televisi dipercaya mampu mempengaruhi sikap dan perilaku penonton. Unsur audio dan visual merupakan kelebihan televisi dibanding media lainnya.

Jadi, tidak mengherankan apabila tayangan kekerasan sudah dianggap biasa oleh masyarakat. Masyarakat tidak pernah mengetahui apakah tayangan itu berbahaya atau tidak. Bagi masyarakat, tayangan kekerasan di televisi hanyalah sebuah hiburan dan tidak membahayakan. Memang benar, itu hanyalah sebuah tayangan dan sama sekali tidak berbahaya. Namun, dibalik tayangan kekerasan itu, kita bisa saja mencontoh apa yang dilakukan oleh pelaku-pelaku kekerasan di televisi. Terutama bagi anak-anak, mereka akan merasa terbiasa dengan tindak kekerasan. Hal itu memungkinkan anak-anak melakukan tindak kekerasan tanpa adanya rasa takut. Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu, akibat meniru adegan dalam tayangan televisi ‘smack down’, seorang anak meninggal dan seorang anak lain mengalami patah tulang. Tentu kita merasa prihatin atas kejadian ini. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa, menirukan begitu saja adegan kekerasan yang bagi mereka hanya berupa hiburan.

Tidak hanya itu, tayangan pemberitaan kriminal pun bisa saja menimbulkan akibat yang sama. Hampir setiap hari di hampir setiap stasiun televisi yang ada di negeri ini, selalu menampilkan tayangan tentang berbagai kasus kriminal. Entah bertujuan untuk menunjukkan betapa negeri ini sudah aman dengan aparat yang sungguh sigap atau justru sebaliknya, yaitu menunjukkan bahwa hidup kita semakin terancam, tetapi yang pasti tercatat ada Buser, Investigasi, Patroli, Halo Polisi, Sergap dan beberapa tayangan lain sejenis. Masing - masing tayangan di rancang secara khusus, meski tak jarang materi berita -kasus- yang disampaikan sama.Sebuah keprihatinan muncul sebagai efek dari maraknya tayangan tersebut.

Bukan keprihatinan berkait dengan tayangan yang bersangkutan, melainkan keprihatinan ketika mendapati dalam setiap tayangan diberitakan adanya tindak kejahatan berupa penyelewengan seksual -dari pencabulan sampai perkosaan. Terutama ketika ternyata yang terlibat -sebagai tersangka- bukan saja orang dewasa yang memang sudah faham tentang segala konsekuensi peyelewengan seksual, namun juga remaja, bahkan tak jarang anak - anak yang sesungguhnya masih butuh pengetahuan lebih tentang hal tersebut.

Berkat maraknya acara-acara yang menayangkan kekerasan, banyak stasiun televisi menggunakan adegan kekerasan sebagai hal pokok pada setiap tayangannya. Mulai dari berita hingga program yang dirancang sebagai hiburan seperti film baik dari Asia – Amerika. Kekerasan hampir menjadi menu utama yang disajikan di televisi. Selain berita yang banyak diwarnai oleh tindakan anarkis para demonstran hingga liputan kriminal, televisi kita masih menawarkan tayangan film-film asing yang tidak lepas dari adegan memukul, menendang, adu tembak, hingga darah yang berceceran sebagai hiburan. Seolah, tak ada film lain yang menarik tanpa salah satu adegan tersebut yang patut untuk dihadirkan di ruang keluarga penonton Indonesia.

Tayangan lokal pun tidak mau kalah, dari membentak, mata melotot, menampar dan meneriakkan kata makian menjadi andalan di setiap iklan tayangannya. Coba sesekali sediakan secarik kertas dan pena kala melihat tayangan berita, hitunglah berapa iklan tayangan baik film asing atau sinetron yang menunjukkan adegan kekerasan. Lain waktu, tambahkan kolom untuk juga mencatat berita kekerasan yang ditampilkan. Sungguh menakjubkan, untuk sebuah bangsa yang mengaku dan merasa sebagai bangsa yang ramah dan berbudaya…

Kekerasan merupakan salah satu yang sering ditayangkan di layar televisi. Adegan kekerasan ini menyebar dalam berbagai jenis program acara. Apakah itu berita, animasi anak, drama dewasa, drama sinetron, olah raga, reality show.

Sekadar mengambil contoh, adegan kekerasan dalam program berita, diantaranya; Derap Hukum (SCTV, Senin & Selasa pukul 21.30 WIB), Buser (SCTV, Senin-Sabtu pukul 11.30 WIB), Fakta (ANTV, Kamis pukul 22.00 WIB), Kriminalitas (ANTV, Rabu pukul 11.00 WIB), Patroli (Indosiar, Senin-Minggu pukul 11.30 WIB), Bidik ( MetroTV, Rabu dan Kamis pukul 17.30 WIB), Brutal (Lativi, Senin-Minggu pukul 18.00 WIB), TKP Siang ( TV7, Selasa dan Kamis pukul 11.00 WIB), Sergap (RCTI, Senin-Sabtu pukul 12.30 WIB), Sidik (TPI, Senin-Minggu pukul 11.00 WIB), Insert (TransTV, Senin-Minggu pukul 11.00WIB). Sebenarnya masih banyak lagi adegan kekerasan yang termuat dalam berbagai program acara televisi.

Sebagai seorang warga masyarakat, kita harus pandai-pandai mengidentifikasi tayangan-tayangan yang di dalamnya terdapat tindak kekerasan. Saat ini telah banyak tindakan penolakan masyarakat terhadap tayangan-tayangan yang berbau kekerasan. Seperti tayangan ‘smack down’ yang mendapat protes dan kecaman dari masyarakat. Protes dan desakan masyarakat atas kasus ‘smack down’ merupakan hal positif. Tidak perlu dibahas jika hal ini sebagai sesuatu yang terlambat, namun mestinya bisa menjadi stimulus bagi masyarakat untuk mampu mandiri dalam menilai, menyaring serta proaktif terhadap tayangan di televisi. Kepekaan itu harus diciptakan, jangan sampai kelak masyarakat Indonesia benar-benar menjadi tidak sensitif terhadap kekerasan hingga menjadi bangsa Bar-Bar. Masyarakat di sini juga termasuk kalangan perguruan tinggi, asosiasi sosial dan kelompok masyarakat lain di samping individu yang berdiri sendiri. Salah satu dari keindahan reformasi yang harus dioptimalkan dan ditumbuhkan adalah kemandirian masyarakat dalam menyikapi berbagai perkembangan, termasuk tayangan televisi dengan kebebasan pers, sehingga menjadi bangsa yang mandiri dalam berpikir dan bertindak.

Diberhentikannya tayangan ‘ smack down’ bukan berarti tayangan kekerasan sudah tidak ada lagi. Tayangan kekerasan tidak dapat ditiadakan mengingat bahwa tayangan kekerasan yang berupa berita juga merupakan kebutuhan setiap anggota masyarakat. Selain itu, acara lain seperti film apabila tidak mengandung unsur kekerasan akan dianggap tidak seru. Jadi, kesalahan terhadap penayangan kekerasan tidak dapat ditujukan sepenuhnya kepada orang-orang yang berada di stasiun televisi yang menayangkan tindak kekerasan. Semua itu tergantung kita sebagai penonton. Apakah menjadikan tayangan tersebut sebagai pedoman untuk bertingkah laku atau hanya menganggap itu sebagai hiburan semata. Selain itu, kita juga harus selalu mengawasi apabila tayangan tersebut ditonton oleh anak-anak.

Dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi. Hampir semuanya dilakukan karena melihat tata cara kekerasan itu di televisi. Hal itu membuktikan bahwa tayangan di televisi berpeluang memberi efek kepada penonton untuk dapat melakukannya. Kita tidak tahu seberapa besar kemungkinan efek tayangan kekerasan di televisi dapat merugikan penonton. Selain itu, kita harus mencari upaya untuk mengurangi efek merugikan dari tayangan televisi yang mengandung tindak kekerasan.

B. PEMBAHASAN

Tayangan kekerasan merupakan tayangan yang paling sering muncul di televisi. Jadi, bisa dikatakan televisi merupakan media yang paling berperan dalam perkembangan tindak kekerasan.

Secara literatur, beratus studi telah menunjukkan dengan jelas bahwa.. Exposure to media may indeed be one factor contributing to high levels of violence in countries where such materials are viewed by large numbers of persons (e.g., Anderson, 1997; Berkowitz, 1993; Paik & Comstock, 1994; Wood et al, 1991, dalam Baron & Byrne,2000)

Bagaimana media dapat memberikan efek yang tajam dari tayangan kekerasan terhadap penontonnya, setidaknya ada tiga penjelasan yang menarik berikut;

Pertama, media memudahkan orang untuk mempelajari ‘cara-cara baru’ kekerasan yang kemungkinan besar tidak terpikirkan sebelumnya. Disebut juga dengan ‘Copycat crimes’, di mana kekerasan yang bersifat fiksi maupun nyata yang ditayangkan oleh media kemudian ditiru oleh orang lain di tempat lain dengan harapan akan mendapatkan hasil yang serupa.

Kasus anak korban ‘smack down’ menjadi gambaran yang sedang hangat. Terlebih bagi anak-anak, tayangan tersebut bisa memberikan pemahaman yang keliru tentang rasa sakit dan kondisi tubuh manusia. Betapa tidak, tayangan yang menampilkan dua orang yang berbadan kekar saling hantam dengan gaya bebas namun tetap terlihat ‘tidak kesakitan’. Anak akan menganggap bahwa meloncat dan menjatuhkan tubuh di atas tubuh kawannya, misalnya, tidak akan menimbulkan rasa sakit apalagi cacat tubuh bahkan meninggal.

Kedua, de-sensitization effects, berkurang atau hilangnya kepekaan kita terhadap kekerasan itu sendiri. Studi menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain (Baron, 1974 dalam Baron & Byrne,2000).

Secara biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu sebabnya menonton memberi dampak emosional yang lebih kuat dari pada membaca. Jika hal ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebas dan tidak peka lagi dengan kekerasan (Flora, 2004).

Sejak reformasi, televisi kita bisa lebih bebas dalam pemilihan tayangan. Seiring dengan itu, kekerasan pun merebak, berita mulai didominasi dengan tindakan-tindakan anarkis yang tidak jarang bersumber dari sesuatu yang sepele. Masyarakat menjadi sangat mudah disulut api kekerasan. Sayangnya, televisi pun makin getol dengan adegan kekerasan bahkan sebagai hiburan. Coba telusuri program serangkaian film asing yang dijanjikan akan diputar dalam satu bulan, sulit sekali menemukan film keluarga yang bisa menciptakan senyum, tawa, perasaan santai, melepas beban rutinitas dan mendapatkan insight yang positif.

Padahal banyak sekali film yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan dari hal kecil seperti perasaan seorang anak di tengah kesibukan orangtua yang disajikan begitu santun, mengelitik, tanpa didominasi teriakan amarah. Mrs. Doubtfire, salah satunya yang sudah berulang kali ditayangkan oleh televisi kita, dan masih banyak lagi yang lain yang semestinya bisa ditampilkan ketimbang film-film yang lebih banyak memamerkan kekerasan. Lebih miris lagi, sinetron-sinetron yang berbungkus nama agama pun diwarnai dengan umpatan, saling pukul dan saling tampar.

Ketiga, periklanan menganggap tayangan kekerasan lebih menjual. Bushman (1998, dalam Baron & Byrne,2000) menemukan hal yang kurang menggembirakan, ternyata orang yang menonton tayangan kekerasan , kemungkinan besar hanya mampu sedikit mengingat isi dari suatu tayangan komersial atau iklan.

Bushman dan Bonacci (2002, dalam Gunter, Furnham & Pappa,2005) semakin menemukan betapa kuatnya pengaruh tayangan kekerasan terhadap penontonnya. Studi mereka menunjukkan bahwa iklan yang tidak menampilkan kekerasan, jika ditayangkan di program televisi yang menayangkan kekerasan, akan sulit diingat dari pada jika ditayangkan di program televisi non-kekerasan. Sebaliknya, iklan yang menampilkan kekerasan akan semakin mudah diingat ketika ditampilkan di program televisi kekerasan. Hal ini dikarenakan tayangan tersebut mendukung dan memudahkan penonton untuk mengingat iklan yang juga berisi adegan kekerasan.

Dalam perkembangannya, televisi menjadi media massa yang sangat mudah untuk mempengaruhi masyarakat. Dalam teori komunikasi dua tahap dan pengaruh antarpribadi, memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Individu tidak terisolasi dari kehidupan sosial, tetapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial dalam berinteraksi dengan orang lain.
2. Respon dan reaksi terhadap dari media tidak akan terjadi secara langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial tersebut.
3. ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai penerimaan dan perhatian, dan yang kedua berkaitan dengan respon dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya mempengaruhi atau penyampaian informasi.
4. Individu tidak bersikap sama terhadap pesan media, melainkan memiliki berbagai peran yang berbeda dalam proses komunikasi, dan khususnya dapat dibagi atas mereka yang secara aktif menerima dan meneruskan gagasan dari media, dan mereka yang semata-mata hanya mengandalkan hubungan personaldengan orang lain sebagai panutannya.
5. Individu-individu yang berperan lebih aktif ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap orang lain, dan memiliki peran sebagai sumber informasi dan panutan.

Secara garis besar, menurut teori ini media massa tidak bekerja dalam suatu sistem kefakuman sosial, tetapi memiliki suatu akses ke dalam jaringan hubungan sosial yang sangat kompleks, dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan, kekuasaan, dan yang lainnya. Atau dengan kata lain, media massa dapat bersaing dengan sumber pengetahuan lainnya dalam mempengaruhi individu.

Selain memiliki efek terhadap individu, media massa juga menghasilkan efek terhadap masyarakat dan budayanya. Efek dalam pengertian ini umumnya mengacu pada suatu efek jangka panjang yang tidak langsung. Efek juga bukan hanya merupakan pengaruh suatu pesan tertentu, namun merupakan hasil dari keseluruhan sistem pesan.

Publik dan perhatian riset telah mengarahkan fokus pada pengaruh kekerasan di televisi pada khalayak karena televisi merupakan media massa yang palimg menyebar saat ini dan televisi keras. Survei yang dilakukan oleh A.C. Nielsen Company menandai bahwa akhir 1976 rata-rata rumah tangga AS dengan televisinya telah menyalakan televisi 6,82 jam setiap hari, suatu peningkatan hampir satu jam pada 1963.

Televisi adalah media massa yang paling dipercaya oleh orang dewasa dan sebagian orang yang mengkonsumsi berita dan hiburan. Pada 1974, survei nasional oleh Roper organitation mengemukakan bahwa 65 persen responden dewasa merujuk pada televisi sebagai sumber berita utama. Bukti ini menunjukkan bahwa televisi merupakan kekuatan penting dalam kehidupan kita karena menyita banyak waktu kita.

Gerbner dan Gross telah melakukan serangkaian studi untuk mengukur kekerasan di televisi. Mereka mendefinisikan televisi sebagai ungkapan terbuka kekuatan fisik kepada diri sendiri atau orang lain, memaksa tindakan kepada kemauan orang sehingga dapat melukai atau membunuh, atau benar-benar melukai atau membunuh. Gerbner dan Gross telah meneliti kekerasan TV beberapa tahun sejak 1967. beberapa temuan mereka adalah sebagai berikut :

Persentase program yang berisi kekerasan berkisar dari 80 sampai 90 persen; pada 1977 75,5 persen. Program anak-anak selama akhir pekan pada pagi hari terus-menerus sebagian besar kekerasan. Tingkat per jam tertinggi pada 1976 (9,50) ; pada 1977 terdapat 6,7 serial kekerasan per jam. Tingkat serial kekerasan per program adalah 6,2 pada 1976 dan 5,0 pada 1977. tingkat kekerasan selama jam menonton keluarga (jam 8 sampai 9 malam) menurun pada 1975-1976 ;tetapi tingkat kekerasan pada akhir program malam hari meningkat dengan jelas selama periode yang sama. Dari data ini kita dapat menyimpulkan terdapat kekerasan yang tingkatnya tinggi di televisi, khusus pada program-program yang cenderung ditonton anak-anak.

Tayangan kekerasan di televisi dapat memberi efek yang tidak baik bagi masyarakat. Beberapa efek tayangan kekerasan di televisi diantaranya :

1. Pelajaran baru tindakan kekerasan

Anak-anak dapat belajar tindakan-tindakan yang agresif dan kompleks yang baru benar-benar melalui pengamatan terhadap tindakan yang ditampilkan oleh seorang model dalam sebuah tayangan televisi.

2. Dorongan perbuatan agresi

Teori pembelajaran sosial (dan akal sehat) menyatakan bahwa kita tidak benar-benar menampilkan sesuatu yang kita pelajari dari peniruan. Penampilan perilaku akibat belajar itu tergantung pada banyak faktor, keterampilan motorik dari orang yang belajar, peluang untuk menampilkan tindakan itu, dan motivasi. Agresi dalam kehidupan sesungguhnya tidak sama dengan agresi atau kekerasan yanng meyakinkan di televisi. Dorongan terjadi dengan adanya penguatan untuk tindakan kekerasan itu. Oleh karena itu, penguatan akan mempermudah agresi ini. Penguatan agresi dapat terjadi karena individu mengamati seorang model ; hal ini dapat juga karena demi orang lain dengan melakukan tindakan agresi yang ditayangkan di televisi yang diamatinya diberikan alasan pembenar atau diberikan ganjaran.

3. Penguatan sebelum pengamatan

Prinsip umum dari teori pembelajaran adalah bahwa kita lebih mungkin melakukan tindakan-tindakan yang pernah diberikan ganjaran di masa lalu, sementara tindakan-tindakan yang pernah dihukum cenderung tidak dilakukan. Anak-anak yang terdorong agresif lebih condong telah diperkuat atas tindakannya itu di masa lalu atau mereka mungkin berasal dari lingkungan sosial yang memberikan kelonggaran terhadap agresi.

4. Penguatan karena orang lain

Menurut teori pembelajaran sosial, kita mempelajari perilaku tidak hanya ketika kita secara langsung diberikan penguatan terhadap dilakukannya perilaku itu melainkan juga karena pengamatan terhadap akibat-akibatnya bila orang lain melakukan tindakan itu.

5. Penguatan setelah pengamatan

Sebuah prinsip dasar teori pembelajaran sebagaimana yang kita lihat adalah bahwa tanggapan-tanggapan cenderung dilakukan dan dipelajari bila hal itu diberikan ganjaran. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa anak-anak lebih cenderung menampilkan tanggapan agresif yang dipelajari ketika mereka dijanjikan ganjaran atau ketika mereka benar-benar memperoleh ganjaran terhadap dilakukannya tanggapan itu.

Mungkin ada baiknya kita belajar dari sebuah survey, yang salah satunya mengkaji tentang dampak penayangan kekerasan di TV yang akhir-akhir menjadi santapan sehari-hari.

Seperti yang dilansir Dyah A.M pengamat Televisi dari Semarang. Mulai pagi, siang, malam, hingga pagi lagi, kekerasan itu berderet-deret seperti barisan prajurit TNI apel pagi. Ada hasil riset yang menyebutkan, 9 di antara 10 acara TV mengandung kekerasan!

Menurutnya, survei yang lain menunjukkan bahwa menonton tayangan kekerasan akan meningkatkan perilaku agresif dan prokekerasan. Bukan satu atau dua survei, tapi ribuan riset menyimpulkan: menonton tayangan kekerasan meningkatkan perilaku agresif!

Penahapan dalam ”belajar kekerasan” itu bisa dijabarkan sebagai berikut. Pertama, berlangsung tahap belajar metode agresi (observational learning). Setelah terbiasa pada hal itu, kemampuan mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition) dan akhirnya tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization, penumpulan perasaan).

Kekerasan pun menjadi hal yang dianggap biasa karena berlangsung rutin. Menurut guru besar komunikasi Stephen Kline, hanya diperlukan waktu sejam untuk merasakan efek desensitization, penumpulan perasaan.

Sebuah survei menunjukkan, 800 anak usia 8 tahun -yang banyak nonton kekerasan di TV- cenderung lebih agresif ketika mencapai usia 19-30 tahun serta membuat masalah lebih besar -seperti kekerasan dalam rumah tangga atau pelanggaran lalu lintas.

Meski seseorang tidak agresif pada usia 8 tahun, jika menonton kekerasan di TV dalam jumlah cukup banyak, dia akan menjadi lebih agresif pada usia 19 tahun dibanding yang tidak menonton.

Pengaruh kekerasan tersebut bisa mengenai remaja dan anak-anak dari segala usia, kedua jenis kelamin (laki atau perempuan), serta semua tingkat sosioekonomis (miskin atau kaya) dan inteligensia (IQ tinggi, jongkok, atau merayap). Juga, tidak terbatas pada anak yang sudah agresif serta tidak mengenal asal negara.

Lihat saja berbagai berita kriminal -curat (pencurian dengan kekerasan), pembunuhan, pemerkosaan, mutilasi, dan lain-lain. Semakin banyak saja pelakunya adalah ”orang-orang yang sebelumnya dikenal alim”.

Lalu, dengar saja ”pembelaannya” yang menyatakan bahwa ia melakukan itu hanya meniru atau mempraktikkan apa yang mereka lihat di tayangan TV, video compact disc atau internet.

Mengingat dampak buruk dari yangan televisi ini, memang kita berharap banyak kepada KPI untuk terus bersikap tegas kepada televisi yang membandel, yang kadang hanya mengutamakan keuntungan materi semata tanpa mempedulikan kehancuran generasi bangsa ini karena keburukan akhlak yang disebabkan menonton tayangannya yang disuguhkan. Sembari dengan itu sikap tegas KPI bukan hanya satu-satunya solusi, kita sendiri juga harus tegas memberikan arahan kepada orang-orang yang kita sayangi dalam hal memproteksi dampak buruk ini. Mungkin memulai dari diri, keluarga dan orang sekitar kita sebagai wujud kita peduli adalah satu langkah yang tepat untuk mengatasi masalah ini.

C. KESIMPULAN

Tayangan televisi merupakan media massa yang paling banyak dipergunakan oleh masyarakat. Tidak mengherankan jika banyaknya tindak kekerasan yang ditayangkan di televisi mempengaruhi perilaku seseorang. Efek tayangan kekerasan sangatlah berbahaya bagi orang-orang yang kurang bisa menganalisis dan mengidentifikasi tayangan-tayangan kekerasan di televisi. Seiring dengan semakin banyaknya tayangan yang mengandung unsur kekerasan maka kemungkinan seseorang untuk meniru perilaku itu semakin besar.

Dampak tayangan kekerasan di televisi paling sering melanda anak-anak. Dimana anak-anak menganggap adegan kekerasan tersebut sebagai hiburan. Hal itu akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak ketika telah menjadi lebih dewasa. Dia akan merasa sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan dan tidak merasa takut untuk melakukannya.

Sampai saat ini upaya untuk menanggulangi penyimpangan perilaku karena tayangan kekerasan di televisi masih sulit untuk dilakukan. Kita sebagai seorang penonton televisi seharusnya lebih pandai untuk tidak meniru adegan-adegan kekerasan yang ada di televisi.

DAFTAR PUSTAKA

Bulaeng, Andi. 2002. Teori dan Manajemen Riset Komunikasi. Jakarta : Narendra

Effendy, Onong Uchjana. 1986. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Karya CV

http : //www.e-psikologi.com

http : //www.wordpress.com

Muis, A. 1999. Jurnalistik, Hukum dan Komunikasi Massa : Menjangkau Era Cybercommunication Milenium Ketiga. Jakarta : PT. Dharu Anuttama

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara

Rivers, William L, Jay Way Jensen and Theodore Peterson. 2004. Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta : Prenada Media

Sendjaja, S. Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka

Severin, Werner J. and James W. Tankard, Jr. 2005. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, & Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta : Prenada Media

Soehoet, A.M. Hoeta. 2002. Teori Komunikasi 2. Jakarta : Yayasan Kampus Tercinta-IISIP Jakarta

Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antarpribadi : Tinjauan Psikologis. Yogyakarta : Kanisius

Susanto, Phil. Astrid S. 1977. Komunikasi : Dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Binacipta

Winarso, Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta : Prestasi Pustaka

KOMUNIKASI EFEKTIF

Komunikasi konon menjadi istilah yang paling sering diucapkan dan dilakukan oleh setiap orang, dari semua pengetahuan dan ketrampilan yang kita miliki menjadi tak berguna bila tidak ada komunikasi. Dengan komunikasi manusia dapat menyampaikan apa yang di inginkan, dengan komunikasi pula kesalah pahaman dapat terjadi diantara mereka. Komunikasi, adalah proses penyampaian suatu ide/gagasan/pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik secara lisan maupun tak langsung. Pengertian di atas menunjukkan betapa kegiatan komunikasi penting bagi aktivitas kehidupan manusia. Bayangkan bila dalam suatu hari saja kita tidak berkomunikasi ?. Betapa sunyinya dunia ini. Dengan demikian, kegiatan komunikasi mendominasi setiap aspek kehidupan manusia, di rumah, di kantor, di jalan, dan dalam waktu yang tak terbatas. Jadi ber komunikasi itu mudah ? kalau mudah, mengapa kesalah pahaman sering timbul saat manusia menjalankan aktivitas komunikasi ? Kesalahan informasi mengenai keberadaan pesawat Adam Air, merupakan suatu contoh, bahwa miss communication dapat berakibat fatal bagi sebuah kebenaran dalam informasi.
Komunikasi Efektif dalam aktivitas individu dimaksud agar pesan - pesan maupun cara menyampaikannya mencapai sasaran. Istilah inilah yang sering dipergunakan oleh individu tak kala dalam interaksi antara individu tidak tercapai sesuai tujuan disebabkan komunikasi tidak efektif. Komunikasi efektif adalah komunikasi yang berhasil mencapai sasaran dengan feedback(respon) yang sesuai dengan tujuan individu berkomunikasi. Hal inilah yang disebut dengan kondisi komunikasi yang sukses(berhasil), melalui :
1. Perencanaan dan penyusunan pesan yang dapat menarik perhatian lawan bicara
2. Menggunakan bahasa maupun alat komunikasi yang mudah dipahami kedua pihak
3. Menggunakan timing yang tepat saat berkomunikasi
4. Merencanakan tujuan maupun sasaran yang sesuai dengan kebutuhan lawan bicara.
Komunikasi Efektif pada dasarnya sangat tergantung pada peran komunikator atau orang yang mengawali pembicaraan, dengan demikian seorang komunikator penting memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Kesiapan (preparedness)
2. Kesungguhan (seriousness)
3. Ketulusan (sincerity)
4. Kepercayaan (confidence)
5. Ketenangan (poise)
6. Keramahan (friendship)
7. Kesederhanaan (moderation)
Tehnik komunikasi persuasi
Komunikasi Persuasi (Persuasive communication) adalah salah satu tehnik berkomunikasi yang banyak dilakukan oleh kalangan yang bergerak di bidang jasa, pembicara, pengacara, polisi, psikolog, marketing, penyiar dan lain-lain. Tehnik komunikasi ini menjadi populer dipergunakan karena inti dari Komunikasi Persuasi ditujukan untuk mengubah perilaku, keyakinan dan sikap orang lain dengan sukarela tanpa paksaan, dilakukan dengan halus, luwes, mengandung sifat-sifat manusiawi. Selanjutnya, Komunikasi Persuasi akan efektif apabila pesan yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan individu, untuk itulah penting bagi komunikator sebelum melakukan komunikasi mengetahui benar-benar apa yang menjadi kebutuhan lawan bicaranya. Abraham Maslow seorang ahli psikologi mendeteksi ada 5(lima) kebutuhan yang dimiliki oleh manusia yaitu :
1. Kebutuhan phisik (Physiological Needs)
2. Kebutuhan akan keamanan (Safety Needs)
3. Kebutuhan kasih sayang (Love Needs)
4. Kebutuhan akan penghargaan (Esteem Needs)
5. Kebutuhan akan hakekat diri (Self Actualization Needs)
Tehnik Dalam Melakukan Kegiatan Komunikasi Persuasi
Setelah mengetahui apa yang menjadi kebutuhan lawan bicara, maka sebaiknya komunikator melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Merencanakan kira-kira apa yang hendak dicapai dalam kegiatan komunikasi tersebut ?
2. Siapakah yang akan diajak berkomunikasi ?
3. Dalam situasi dan kondisi yang bagaimanakah kegiatan dan orang yang akan berkomunikasi berlangsung ?
Setelah melakukan evaluasi terhadap situasi dan kondisi seperti diatas, maka berikut tehnik-tehnik yang dapat dipergunakan dalam kegiatan Komunikasi Persuasi, yaitu :
1. Cognitive Dissonance, Mengemas pesan komunikasi berdasarkan pengamatan maupun kebiasaan yang
seringkali atau umum dilakukan, meskipun hasil tersebut bertentangan dengan hati nurani.
2. Tehnik Pay Off Idea, Ialah usaha persuasi dengan memberikan reward (hadiah) atau penghargaan
3. Empathy, Yaitu menempatkan diri pada kondisi atau posisi lawan bicara.
4. Packing, Penyajian pesan komunikasi yang dilakukan sedemikian sehingga menarik perhatian lawan bicara
5. Red Herring, Tehnik mengelakkan argumentasi yang salah atau tidak dikuasai oleh komunikator
6. Tehnik Asosiasi, Yaitu menyampaikan suatu pesan dengan jalan menempelkan atau menggabungkan objek
yang sedang aktual atau menarik.
Hambatan terhadap berlangsungnya Komunikasi Persuasi
1. Noise
2. Semantic - factor
3. Interest
4. Motivation
5. Prejudice
Beberapa hal diatas merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan oleh individu yang terlibat dalam kegiatan komunikasi, pada intinya Komunikasi Efektif dapat terlaksana bukan hanya tanggung jawab komunikator sebagai penyampai pesan, dengan kata lain untuk mengefektifkan kegiatan komunikasi, diperlukan pembicara yang efektif dalam menyampaikan pesan dan pendengar yang efektif dalam menerima pesan.
Di kutip oleh Ir.Sugiono, Fungsional Pranata Humas Muda, dari makalah DR. Dewi K. Soedarsono MS.
Dalam acara Seminar Kehumasan pada tanggal 24 Juli 2007, berlokasi di Korwil Bandung Jl. Sangkuriang Ged. 40 Lt.2, hasil kerjasama Korwil Fortamas LIPI Pusat Jakarta dengan Korwil Fortamas LIPI Bandung

Komunikasi Efektif dalam Tim

Salah satu komponen penting dalam membangun sebuah teamwork yang baik adalah adanya komunikasi yang efektif dalam tim tersebut. Komunikasi dapat memperkuat ataupun memperlemah bahkan menghancurkan sebuah tim. Good communication can build up a team, bad one can break it. Komunikasi yang baik dapat membangun kekuatan sebuah tim, sedangkan komunikasi yang buruk dapat menghancurkannya.

Berikut adalah artikel mengenai komunikasi efektif dalam sebuah tim, yang ditulis oleh Jimmy Sentoso, mahasiswa peserta mata kuliah People Skill II program Magister Management Universitas Bina Nusantara.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Tentu kita sudah sering mendengar semboyan tersebut di telinga kita. Semboyan ini merupakan salah satu semboyan dalam perjuangan bangsa kita dalam perang untuk merebut kemerdekaan. Hal ini dapat kita lihat secara nyata dalam contoh sebuah sapu lidi. Batang yang digunakan untuk membuat sapu lidi teramat tipis dan rapuh. Seorang anak berusia lima tahun pun dapat mematahkannya dengan mudah. Tetapi apa yang terjadi apabila kita menyatukan batang lidi yang teramat tipis dan rapuh tersebut menjadi sebuah sapu lidi? Jangankan seorang anak kecil yang berusia lima tahun, orang dewasa yang telah berusia dua puluh tahun pun tidak dapat mematahkannya walau ia menggunakan seluruh tenaganya. Begitu pula yang akan terjadi apabila kita bekerjasama dalam sebuah tim.
Sebenarnya, setiap orang di planet ini terlibat atau melibatkan diri dalam pembangunan tim. Oleh karena itu, kita dirancang untuk berfungsi dalam jalinan dan hubungan saling ketergantungan dengan orang lain. Hal ini tidak terlepas dari sifat manusia yang merupakan makhluk sosial, yang harus berinteraksi dengan sesamanya untuk dapat hidup dengan baik. Sebuah perusahaan merupakan kerjasama dari tim. Sebuah klub sepak bola merupakan hasil kerjasama sebuah tim. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat individual pun tetap memerlukan sebuah tim untuk dapat berfungsi secara baik. Sebagai contoh dapat kita lihat pada olahraga perseorangan seperti olah raga tinju, lari, golf maupun catur. Kita tidak dapat berhasil mencapai suatu kesuksesan dalam olah raga tersebut tanpa adanya kerjasama. Seorang atlet tinju, lari, golf, dan olah raga individu lainnya tetap membutuhkan pelatih, manajer, maupun para pendukungnya untuk saling bekerjasama dalam mencapai sukses.
Kapan dan di mana pun orang bersama-sama atau berada dalam kebersamaan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, itulah sebuah tim. Prioritas utama sebuah tim apapun adalah untuk belajar berfungsi seefektif dan semulus-mulusnya sehingga secara individu dan bersama-sama, anggota tim itu dapat meraih sasaran yang tepat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat meraih kesuksesan tanpa bekerjasama dengan orang lain.

Kekuatan Kerja Tim
TEAM (Tim) bukanlah sekedar kata, melainkan juga merupakan akronim untuk suatu kebenaran yang dahsyat, yaitu Together Everyone Achieve More. Konsep dari tim ini terbentuk dari kata yang sering kita dengar berulang kali, yaitu sinergi. Kata sinergi ini berasal dari bahasa Yunani sunergos, ”sun” berarti bersama dan ”ergon” berarti bekerja. Sinergi berarti interaksi dari dua individu atau lebih atau kekuatan yang memungkinkan kombinasi tenaga mereka melebihi jumlah tenaga individu mereka.
Kerja tim adalah kemampuan untuk bekerja sama menuju satu visi yang sama, kemampuan mengarahkan pencapaian individu ke arah sasaran organisasi. Itulah rangsangan yang memungkinkan orang biasa mencapai hasil yang luar biasa. Dalam mata kuliah Organizational Behavior yang pernah saya pelajari, terdapat demonstrasi bagaimana kerjasama dapat menghasilkan suatu hal yang luar biasa. Kami disuruh untuk membentuk beberapa tim yang beranggotakan lima orang, di mana kami semua belum memiliki kemampuan untuk menganalisis bidang ini dengan baik. Setiap orang dalam kelompok kami diminta untuk memberikan peringkat terhadap suatu hal berdasarkan urutan dari hal yang kami anggap paling penting. Setelah itu setiap pendapat dari kami digabungkan untuk mendapatkan rata-rata peringkat untuk setiap kelompok. Apa yang terjadi? Kesimpulan rata-rata kelompok kami mendekati jawaban yang telah diberikan. Bahkan apabila hasil dari setiap kelompok disatukan dan diambil rata-ratanya, maka penilaian kami hampir sama dengan penilaian para ahli di bidang tersebut.
Demonstrasi nyata lain mengenai prinsip sinergi dapat kita lihat pula dalam kontes kuda penghela dalam kontes kuda penghela di suatu pekan raya kota. Kuda juara dalam kontes tersebut mampu menghela gerobak seberat 2.250 kilogram. Juara kedua sanggup menarik beban sebesar 2.000 kilogram. Dalam teori, berarti kedua kuda tersebut secara bersama-sama harus mampu menggerakkan maksimum 4.250 kilogram. Untuk uji coba teori tersebut, pemilik kedua kuda memadukan kedua kuda dan membebaninya dengan gerobak. Semua orang yang melihat terperangah. Kedua kuda tersebut mampu menarik beban seberat 6.000 kilogram, atau 1.750 kilogram lebih berat dibanding jumlah upaya yang mampu mereka lakukan sendiri-sendiri. Sinergi dapat dipakai untuk menyatukan tenaga individu, menutup keterbatasan individu, untuk menggandakan upaya individu, supaya sasaran yang lebih banyak dan lebih besar dapat dicapai.

Komunikasi
Ada lima komponen atau unsur penting dalam komunikasi yang harus kita perhatikan. Kelima unsur tersebut adalah: pengirim pesan (sender), pesan yang dikirimkan (message), bagaimana pesan tersebut dikirimkan (communication channel), penerima pesan (receiver), dan umpan balik (feedback). Pesan tersebut disampaikan melalui suatu media komunikasi, sehingga dapat diterima dengan baik oleh si penerima, dan menghasilkan umpan balik yang berguna bagi si pengirim pesan. Yang dimaksud media komunikasi di sini bukan hanya berupa percakapan secara langsung dengan menggunakan suatu bahasa yang dapat dimengerti, melainkan segala hal yang dapat membuat individu saling berinteraksi dan saling mengerti mengenai pesan apa yang akan disampaikan, sehingga tidak terjadi salah penafsiran mengenai isi dari pesan tersebut. Media komunikasi tersebut bisa juga berupa isyarat melalui gerakan tubuh, morse, maupun melalui alat bantu seperti surat, gambar, serta alat bantu visual lainnya.

Komunikasi dalam Tim
Untuk dapat membangun kerjasama dalam sebuah tim, diperlukan komunikasi antaranggotanya agar tujuan bersama dapat tercapai. Pernahakan kita membayangkan apa yang terjadi dalam suatu tim apabilla setiap anggota tim tidak dapat berkomunikasi dengan baik dengan anggota tim lainnya? Seberapa pun hebatnya kemampuan individu dalam suatu tim, mereka tidak akan ada gunanya apabila tidak dapat berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya. Mereka hanya akan menjadi sebuah kelompok yang tidak tahu ke mana arah yang akan dituju. Keahlian mereka akan menjadi sia-sia apabila mereka tidak dapat mengkomunikasikannya dengan orang lain. Seperti yang telah dikatakan oleh William Shakespeare ”No man is lord of anything, though in and of him there be much consisting, till he communicate his part to other.”
Contoh nyata yang sering kita lihat adalah pada pertandingan sepak bola. Sering kali pada pertandingan sepak bola, di mana terdapat suatu tim yang bertabur bintang dengan skil individu yang tinggi kalah oleh sebuah tim yang berisikan pemain dengan kemampuan skill individu yang tidak begitu menonjol. Apa yang menyebabkan tim tersebut dapat menang? Komunikasi yang baik dan saling pengertian antarpemain dalam tim tersebutlah yang menyebabkan tim yang diisi oleh pemain yang memiliki skill rata-rata dapat berubah menjadi tim yang hebat dan menakutkan. Hal ini telah diakui oleh pelatih sepak bola manapun di dunia ini. Mereka mengakui bahwa skill individu merupakan hal yang penting, tetapi ada hal yang lebih penting dalam suatu tim sepakbola; yaitu kerjasama tim, kesadaran akan tugasnya masing-masing dan saling pengertian antarpemain tim tersebut.

Hukum Komunikasi Efektif
Prinsip dasar yang harus kita perhatikan dalam berkomunikasi dapat kita rangkum dalam satu kata, yaitu REACH (Respect, Empathy, Audible, Clarity, Humble), yang berarti merengkuh atau meraih.
Hukum pertama dalam berkomunikasi adalah Respect. Respect merupakan sikap hormat dan sikap menghargai terhadap lawan bicara kita. Kita harus memiliki sikap (attitude) menghormati dan menghargai lawan bicara kita karena pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaan orang tersebut. Samuel Johnson mengatakan bahwa ”There will be no RESPECT without TRUST, and there is no trust without INTEGRITY.”
Hukum kedua adalah Empati, yaitu kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima. Prinsip dasar dari hukum kedua ini adalah ”Perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan.” ”Seek first to understand then be understood to build the skills of emphatetic listening that inspires openness and trust.” (Stephen Covey)
Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan atau pun umpan balik apa pun dengan sikap yang positif. Banyak sekali dari kita yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan.
Hukum ketiga adalah Audible. Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Kunci utama untuk dapat menerapkan hukum ini dalam mengirimkan pesan adalah:

a. Buat pesan Anda mudah untuk dimengerti
b. Fokus pada informasi yang penting
c. Gunakan ilustrasi untuk membantu memperjelas isi dari pesan tersebut
e. Taruhlah perhatian pada fasilitas yang ada dan lingkungan di sekitar Anda
f. Antisipasi kemungkinan masalah yang akan muncul
g. Selalu menyiapkan rencana atau pesan cadangan (backup)

Hukum keempat adalah kejelasan dari pesan yang kita sampaikan (Clarity).
Pesan yang ingin disampaikan harus jelas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity juga sangat tergantung pada kualitas suara kita dan bahasa yang kita gunakan. Penggunaan bahasa yang tidak dimengerti, akan membuat isi dari pesan kita tidak dapat mencapai tujuannya. Seringkali orang menganggap remeh pentingnya Clarity, sehingga tidak menaruh perhatian pada suara (voice) dan kata-kata yang dipilih untuk digunakan. Beberapa cara untuk menyiapkan pesan agar jelas yaitu:

a. Tentukan goal yang jelas.
b. Luangkan waktu untuk mengorganisasikan ide kita
c. Penuhi tuntutan kebutuhan format bahasa yang kita pakai
d. Buat pesan Anda jelas, tepat dan meyakinkan
e. Pesan yang disampaikan harus fleksibel

Hukum kelima dalam komunikasi tim yang efektif adalah sikap rendah hati (Humble)
Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Kerendahan hati juga bisa berarti tidak sombong dan menganggap diri penting ketika kita berbicara. Justru dengan kerendahan hatilah kita dapat menangkap perhatian dan respons yang positif dari si penerima pesan.
Kita telah mengetahui betapa hebatnya fungsi dari suatu tim, di mana sekumpulan orang yang biasa saja dapat menghasilkan suatu output yang luar biasa. Namun tim tersebut akan menjadi tidak efektif apabila kita tidak dapat saling berkomunikasi. Oleh karena itu diharapkan kita dapat menggunakan kelima hukum komunikasi tersebut untuk membantu kita dalam menciptakan suatu tim yang solid

Komunikasi Antar Agama dan Budaya

Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan terdiri dari 17.508 pulau, 485 suku bangsa dan 583 bahasa daerah. Kenyataan itu sangat fantastis. Dengan begtu beragamnya suku bangsa, bahasa, dan adat istiadat.Kita tetap dipersatukan oleh satu bahasa, yaitu Bahasa Indpnesia. Sehingga informasi atau pesan kebudayaan dari masing-masing suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda itu tetap bisa disimak.
Hubungan yang terjadi di antara berbagai suku bangsa tersebut tentu saja melalui suatu proses komunikasi. Jika proses komunikasi ditinjau dari segi komunikasi antarbudaya, maka bukanlah semata-mata terjadi proses tukar menukar barang seperti di pasar, tetapi terjadi suatu proses tukar menukar segi kebudayaan. Hal itu meliputi bahasa, religi, sistem ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem organisasi sosial dan kesenian.
Faktor Penunjang Komunikasi Antar Agama
Dan Komunikasi Antarbudaya
Menurut Gerhard Malatzke komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Edward Hall. Bidang ini sebenarnya bukan fenomena baru, komunikasi antarbudaya sudah ada sejak pertama kali orang-orang berbeda budaya saling bertemu dan berinteraksi, meskipun studi yang sistematik mengenai bidang ini baru dilakukan selama 30 tahun terakhir.
Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda suku bangsa, kelompok ras, atau komunitas bahasa, maka komunikasi tersebut disebut komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, bagaimana cara mengkomunikasikan pesan-pesan tersebut.
Dengan mengetahul ciri dasar budaya dari tiap-tiap suku bangsa akan mengurangi keterkejutan budaya (gegar budaya), memberikan kepada kita wawasan terlebih dahulu dan memudahkan kita untuk berinteraksi dengan suku bangsa lain yang sebelumnya sulit kita lakukan. Dari interaksi ini selanjutnya akan cenderung terjadi relasi.
Sebenarnya keanekaragaman budaya bukanlah sesuatu yang akan hilang pada waktu mendatang yang memungkinkan kita merencanakan strategi berdasarkan asumsi saling memahami. Dari sini
kemudian akan timbul empathy dari diri kita terhadap orang-orang dari suku bangsa lain. Adanya
saling memahami dan pengertian di antara orang-orang berbeda budaya akan mengurangi konflik
yang selama ini sering terjadi. Konflik biasanya terjadi karena berbedanya persepsi mengenai nilai- nilai antarbudaya.
Hal yang keramat bagi satu suku bangsa boleh jadi merupakan hal yang dianggap biasa bagi suku bangsa lainnya. Situasi seperti ini sebenarnya bisa dicari jalan keluarnya, yaitu dengan pemahaman, yang mendalam mengenai budaya lain dan tahu strategi pendekatannya. Agak sulit memang untuk memahami secara detail sebanyak 485 suku bangsa yang tersebar di pulau-pulau yang berbeda dan dibatasi oleh laut yang cukup luas. Tentu saja ini mempengaruhi pesan komunikasi yang hendak di sampaikan.
Tapi kita harus optimis mengenai perbedaan budaya di Indonesia. Karena pada dasarnya. hal itu merupakan salah satu kekayaan dari Negara Republik Indonesia, Dan ini adalah tantangan bagi kita, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang ilmu komunikasi.
A. Definisi Komunikasi Antar Budaya
Jika kita telah mengetahui pengertian dari komunikasi dan budaya makakita akan dapat menyimpulkan bahwa definisi dari komunikasi antar budaya adalah satu komunikasi yang antara sumber sebagai satu faktor utama yang paling penting dan penerimanya yang adalah faktor penunjang dalam terjadinya proses komunikasi berasal dari budaya yang berbeda.
Sangat berbeda pengertian antara Mulyana dengan menurut buku gatra - gatra Komunikasi. Disini dapat dilihat bahwa terdapat dua konsep yang akan sangat mewarnai komunikasi antar budaya itu sendiri yaitu : Konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.
Adapun pengertian dari komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang bukan saja komunikasi yang ada dalam satu kalangan dengan latar belakang pribadi yang memiliki perbedaan budaya namun juga karena perbedaan etnik dan ras yang telah cukup lama mereka pegang dan akan tetap selamanya mereka pegang, sehingga akan sulit sekali bagi mereka untuk melakukan satu komunikasi.
Karena kesulitan untuk melepas prinsip latar belakang budaya mereka yang bagi mereka sangat bersifat pribadi. Dengan adanya perbedaan antar budaya maka kita perlu memahami bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan orang lain dan hal – hal yang dapat dikomunikasikan untuk lebih mempermudah proses komunikasi. Memang sangat diperlukan bagaimana memahami orang lain dalam berkomunikasi terutama jika lawan bicara kita mempunyai latar belakang budaya yang tidak sama dengan kita, itu justru akan lebih membutuhkan perhatian lebih. Jika kita akan melihat lebih dalam maka menurut buku kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan ada terdapat tiga wujud dalam kebudayaan yaitu: wujud kebudayaan akan memberikan satu gagasan-gagasan atau ide, nilai-nilai, norma-norma yang akan cukup kompleks untuk kita mampu memahaminya. Kita juga memahami bagaimana sebenarnya pola komunikasi dari masyarakat itu sendiri yang dapat dilihat secara menyeluruh dan cukup luas, dalam aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat itu sendiri. Dari kebudayaan itu sendiri akan nampak berbagai benda-benda hasil karya manusia yang dapat dijadikan sebagai wujud budaya yang nyata dapat dilihat secara langsung.
3 ( tiga ) Sasaran komunikasi antar budaya yang selalu dikehendaki dalam proses komunikasi antar budaya, yaitu :
1. Agar kita berhasil melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan orang – orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda
2. Agar dapat meningkatkan hubungan antar pribadi dalam suasana antar budaya
3. Agar tercapai penyesuaian antar pribadi.
B. Pengertian, Fungsi, dan Ruang Lingkup
• Menurut DeVito (1997) bentuk-bentuk komunikasi antarbudaya meliputi bentuk-bentuk komunikasi lain, yaitu:
1. Komunikasi antara kelompok agama yang berbeda. Misalnya: antara orang Islam dengan orang Yahudi
2. Komunikasi antara subkultur yang berbeda. Misalnya : antara dokter dengan pengacara, atau antara tunanetra dengan tunarungu
3. Komunikasi antara suatu subkultur dan kultur yang dominan. Misalnya ; antara kaum homoseks dan kaum heteroseks, atau antara kaum manula dan kaum muda.
4. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda yaitu antara pria dan wanita.
• Menurut Mulyana (2004)
Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya.
Sama halnya dengan komunikasi antaragama yaitu proses komunikasi dengan orang-orang yang berbeda agama.
Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, agama, kelompok ras, atau kelompok bahasa, komunikasi itu disebut komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya-budaya yang bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, bagaimana cara mengkomunikasikannya, kapan mengkomunikasikannya.
C. Fungsi Komunikasi antarbudaya dan agama
Secara khusus fungsi komunikasi antarbudaya adalah untuk mengurangi ketidakpastian. Karena, ketika kita memasuki wilayah orang lain kita dihadapkan dengan orang-orang yang sedikit banyak berbeda dengan kita dalam berbagai aspek (sosial, budaya, ekonomi, status,dll). Pada waktu itu pula kita dihadapkan dengan ketidakpastian dan ambiguitas dalam komunikasi.
Gundykunstt dan Kim, usaha untuk mengurangi ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap seleksi, yaitu :
1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun nonverbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi)
2. Initial contact and imppresion yakni tanggapan lanjutan atau kesan yang muncul dari kontak awal tersebut, misal : anda bertanya pada diri sendiri Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya?
3. Closure, mulai membuka diri anda sendiri yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit.
Secara umum fungsi komunikasi antarbudaya tidak dapat dipisahkan dari fungsi komunikasi yaitu :
Fungsi Pribadi Fungsi Sosial
• Pengawasan
• Menjembatani
• Sosialisasi
• Menghibur
D. Ruang Lingkup Komunikasi Antaragama dan budaya
• Mempelajari komunikasi antarbudaya dengan pokok bahasan proses komunikasi antarpribadi dan komunikasi antarbudaya serta agama termasuk di dalamnya, komunikasi diantara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan, agama, suku bangsa, ras dan etnik.
• Komunikasi lintasbudaya dengan pokok bahasan perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi lintasbudaya
• Komunikasi melalui media diantara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan namun menggunakan media seperti komunikasi internasional.
• Mempelajari perbandingan komunikasi massa misalnya membandingkan sistem media massa antarbudaya, dampak media massa, tatanan informasi dunia baru.
Kesimpulan
Komunikasi Antar Agama dan Antar Budaya sangat penting untuk dipelajari dan diperdalam karena di Negara ini yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama rentan sekali terjadi konflik. Apabila salah satu suku tidak memahami apa yang dikatakan oleh suku lain, maka akan terjadi perselisihan, begitu juga dengan perbedaan agama dan ras.
Dengan memahami Komunikasi Antar Agama dan Antar Budaya tentu peristiwa seperti diatas tidak akan terjadi karena kita saling mengerti dan memahami apa yang dimaksud oleh suku, ras, dan agama lain.
Penutup
Alhamdulillah, akhirnya makalah yang berjudul Faktor Penunjang Komunikasi Antar Agama dan Budaya ini telah selesai. Semoga apa yang terkandung dan tertulis dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum, dan kami selaku mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Non Reguler khusunya.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Pak Adi Masturi selaku Dosen Mata Kuliah Komunikasi Antar Agama dan Budaya yang telah membimbing sehingga makalah ini dapat terselesaikan dan juga teman – teman yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Jakarta, 26 Januari 2009
Daftar Pustaka
1. Ingram, David, Habermas and the Dialectical Reason, New Haven and London: Yale University Press, 1987
2. Koentjaraningrat, Kebudyaaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1978.
3. Suparno, Paul, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1998
4. Irwanto, dkk., Psikologi Umum, Jakarta: Gramedia, 1997.
5. Dadan Anugrah, Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya, Jala Permata, Jakarta, 2008