Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Powered By Blogger

Selasa, 25 Mei 2010

KITAB SUCI AL-QUR’AN SEBAGAI WUJUD PERADABAN ISLAM

Al-Quran menurut M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an(Mizan, 1998) yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Tiada bacaan seperti Al-Qur’an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pmilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan ampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak perna kering itu, berbda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecendrungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Qur’an yang berjumlah 77.439(tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kat, dengan jumlah huruf 323.015(tigaratus duapuluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: “Tiada seorang pun dalam seribu limaratus tahun ini telah memainkan ‘alat’ bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Qur’an).” Demikian terpadu dalam Al-Qur’an keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
Bacalah dengan (menyebut)nam Tuhanmu yang menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya(QS Al- ‘Alaq[96]:1-5)
Mengapa iqra’ merupakan perintah pertama yang ditunjukan kepaa nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra’ terambil dari dari akar kata ang berarti “ menghimpun”, sehingga tidak selalu harus diartikan “ membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”.
Dari “menghimpun” lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui cirri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Iqra’ (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? “Ma aqra’?” Tanya Nabi- dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghenaki agar beliau dan ummatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbika, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam,bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis maupu yang tidak tertulis.Alhasil objek perintah Iqra’ mecakup ksegal sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekedar menunjukan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan Bismi rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga.
Mengulang-ulang membaca Al-Qur;an menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan dan menambah kesucian jiwaserta kesejahtraan batin. Berulang-ulang “membaca” alam raya, membuka tabir rahasianya memperluas wawasan serta menambah kesejahtraan lahir Ayat Al-Qur’an yang kit abaca ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Qur’an yang dibaca Rasul dan generasi terdahul. Alam raya pun demikian, namun pemahaman , penemuan rahasianya serta limpahan kesejahtraannya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung dalam iqra’ wa Rabbukal akram(Bacalah dan Tuhanmu lah yang paling pemurah). Atas kemurahan-Nyalah kesejahtraan demi kesejahtraan tercapai.
Sunggu, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dn dapat diberikan kepada umat manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat utama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi (IPTEK), serta syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya newon(1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel(1770- 1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran Al-Qur’an. Astaghfurullah menunjuk masa akhirnya, karena kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya.
Sesunggunya kami(Allah bersama Jibril diperintahnya) menurunkan Al-Qur’an, dan kami(yakin Allah dengan keterlibatan manusia) yang memliharanya.( QS Al-Hijr [15]:9)
Pengetahuaan dan peradaban yang dirancang oleh Al-Qur’an adalah pengetahuan yang terpadu yang melibatan akal dan kalbu dalam perolehannya. Sehingga akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikiran tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan peita di tangan pencuri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar