Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Powered By Blogger

Jumat, 19 Maret 2010

HAKEKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA

Dalam diskursus pendidikan Islam, telaah manusia selalu dikaitkan dengan fitrah, potensi jasmani dan rohani, serta kebebasannya untuk berkehendak. Ketiganya merupakan karakteristik unik yang dijadikan prinsip-prinsip dasar pemahaman manusia dalam pendidikan Islam.[1]

Prof. DR. Quraish Shihab mengutip sebuah buku yang berjudul Man the Unknown, karangan Dr. A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya.[2]

Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang komplek, sempurna dan mempunyai cirri khas tersendiri yang membedakannya dengan makhluk lain. Cirri khas manusia yang membedakannya dengan makhluk lain ini terbentuk dari kumpulan terpadu ( integrated) dari apa yang disebut sifat hakekat manusia. Seorang pendidik harus mampu dan mau memahami tentang sifat hakikat manusia, karena tugas mendidik hanya mungkin dapat dilakukan dengan benar dan tepat apabila pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sendiri. Karena sasaran dari sebuah pendidikan adalah manusia. Maksud dan tujuan dari sebuah pendidikan adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga ia menjadi dewasa.

Sifat dan hakekat manusia menjadi kajian filsafat khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi keharusan karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek, melainkan praktek yang berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normative. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang mendasar. Bersifat normative karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuh kembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur.[3]

1. Pengertian Sifat Hakikat Manusia

Sifat hakikat manusia diartikan sebagai cirri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil ( jadi bukan hanya gradual ) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu zoon politicon ( hewan yang bermasyarakat ), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke tier ( Hewan yang sakit ) yang selalu gelisah dan bermasalah.[4]

Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual yaitu suatu perbedaan yang dengan melalui proses rekayasa dapat dibuat sama keadaannya, misalnya air yang karena perubahan temperature lalu menjadi es. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan, orang hutan dapat dirubah menjadi manusia.

1. Wujud Sifat Hakikat Manusia

Wujud sifat hakikat manusia yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme yaitu :

1. Kemampuan menyadari diri.

Kaum Rasionalisme menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki cirri yang khas atau karakteristik diri. Hal ini yang menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia bias membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya. Kemampuan membuat jarak ini berarah ganda yaitu arah keluar dan arah kedalam. Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek, selnajutnya aku memanipulasi ke dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuihannya. Puncak aktifitas yang mengarah keluar ini dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan arak ke dalam, aku memberi status kepada lingkungannya sebagai subjek yang berhadapan dengan aku sebagai objek yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan dan tenggang rasa. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang terpuji. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek social, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.

1. Kemampuan Bereksistensi

Manusia merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan untuk menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemempuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut dengan kemempuan bereksistensi. Jika seandainya pada diri amnesia tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksisitensi, maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar esensi belaka, artinya ada hanya sekedar berada dan tidak pernah mengada atau bereksisitensi. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku mekhluk infra human, di mana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungan. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak.

1. Kata Hati

Kata hati merupakan kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral, kata hati merupakan petunjuk bagi moral/ perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam adalah pendidikan kata hati ( gewetan forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral yang didasari oleh kata hati yang tajam.

1. Moral

Moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi atau luhur. Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral yang buruk, lazimnya disebut tidak bermoral.

1. Tanggung Jawab

Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh agama-agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dan uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

1. Rasa Kebebasan

Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.

1. Kewajiban dan Hak

Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum dipenuhi), begitu sebaliknya.

1. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu (yang menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”

[1] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia Jakarta, 2002, hal. 277

[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Lentera Hati Bandung, 2002. hal. 120

[3] Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan,Rineka Cipta Jakarta, 2005, hal.2

[4] Ibid, hal.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar