Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Powered By Blogger

Selasa, 02 Maret 2010

MASJID DAN PERUBAHAN SOSIAL: EKSISTENSI, PARTISIPASI, DAN PROYEKSI

Membincangkan masjid sama halnya membincangkan Islam dan umat itu sendiri. Pasalnya, ’umur’ masjid berbanding lurus dengan ’umur’ umat ini. Kuntowijoyo, seorang sejarawan-budayawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, mempertanyakan sekaligus menjawab satu hal yang menarik mengenai masjid. Mengapa nabi Muhammad SAW. tidak membangun istana (saja) ketika beliau pertama kali ke Madinah. Jawaban Pak Kunto, demikian beliau biasa disapa, adalah bahwa seorang muslim harus melekatkan diri pada persekutuan sosial yang berbasiskan sebuah prinsip bahwa Allah berkuasa mutlak atas manusia. Istana merupakan simbol dari birokrasi keduniaan yang sekuler dan profan sedangkan masjid merupakan simbol transeden keakhiratan yang religius dan sakral. Sebagai masjid pertama, masjid Nabawi, pada waktu itu merupakan bangunan yang sama sekali multi fungsi sehingga menjadi pusat peribadatan, pemerintahan, peradaban, dan sebagainya. Masjid merupakan entitas yang inheren dalam keseluruhan perjuangan umat ini.
Masjid adalah titik awal dari transformasi sosial yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Dari tempat inilah dimulai segala perubahan di Jazirah arab pada waktu itu. Atas peran sejarahnya yang teramat diperhitungkan oleh Nabi SAW, maka hal ini menjadi bukti bahwa masjid harus mengambil peran dalam konteks sosial umat. Pandangan ini sekaligus menegasikan usaha untuk memprivatisasi ritual keagamaan agar dipraktekkan di masjid saja; padahal masjid jelas-jelas bukan ’fasilitas’ privat; ia adalah ’lembaga publik’ yang sama sekali fungsional dalam kehidupan sosial ’pengunjungnya’ (baca: ahli masjid). Gagasan ini akrab di benak kita dengan paham sekularisme. Kita tentu menolak sekularisme karena paham ini akan mengebiri fungsi sosial dari mesjid. Sebuah reduksi peran sejarah.
Demikianlah, dalam masa awal Islam, dari pergumulannya dengan berbagai peribadatan privat hingga keikutsertaannya dalam kehidupan publik, mesjid selalu dioptimalkan fungsi sosialnya. Latihan perang mengambil tempat di sini. Pengumpulan zakat, infak, dan sedekah dipusatkan di sini. Dari fakta sejarah ini, sesungguhnya Islam ingin, para pemeluknya menerjemahkan berbagai ritus keagamaannya ke dalam tindakan sosial ekonomi yang nyata dan solutif. Akhir-akhir ini, gagasan ekonomi Islam tengah mendapatkan momentum popularitasnya. Dalam berbagai litelatur, masjid selalu dijadikan tahap utama pembangunan ekonomi nabi Muhammad SAW.
***
Atas semua yang dimiliki oleh masjid, rasanya tidak lengkap apabila tidak menyinggung fungsi lainnya yang sama sekali integratif. Minimalnya, lima kali dalam sehari, masjid mampu menghimpun orang-orang, dari berbagai aktifitas, berbagai kepentingan dunia, dan seterusnya ke dalam satu barisan yang lurus, padu, dan kompak di bawah komando seorang pemimpin (baca: imam shalat). Mengapa hari Jum’at dinamai ”Jum’at”?. Hal ini karena pada hari itu, semua orang (lagi-lagi) dikumpulkan mesjid, dengan jumlah yang berlipat-lipat dibandingkan yang ”lima waktu”. Apabila ditarik hingga akar bahasanya, hari tersebut memang bermakna ”hari perkumpulan”; jama’a; berkumpul. Sederhana memang tetapi justru di sinilah letak keunggulannya.
Secara normatif dan historis, betapa indah sekali masjid dalam posisi dan fungsinya. Tetapi memang waktu adalah sesuatu yang sama sekali tidak akan diam. Struktur sosial, dari waktu ke waktu terus berubah. Semakin terdeferensiasi, terspesialisasi, meskipun menuju homogenitas (baca: globalisasi). Atas aktifnya masjid dalam konteks sosial sekitarnya, atas perannya menjadi bagian dari agen of change, maka berbagai perubahan sosial yang terjadi hingga saat ini, tentu mempunyai relasi yang kuat terhadap keberadaan masjid. Demikianlah ada daya tarik intelekual tersendiri (baca: kuriositas) untuk menangkap derap langkahnya dalam arus perubahan sosial ini, yang sedang dan tentu akan senantiasa berlangsung.
Pembahasan tentang eksistensi dan partisipasi masjid untuk tetap survive dalam era kontemporer ini sama pentingnya dengan mendiskusikan pentingnya mesjid itu sendiri. Sebagaimana dipaparkan di atas, mesjid merupakan representasi umat (seharusnya memang seperti itu). Kita harus tahu, dimana posisi kita di belantara globalisasi ini. Hampir sama dengan analisa SWOT (Strengt, Weakness, Oportunity, Threatment) dalam Manajemen. Pembahasan ini akan diakhiri dengan sedikit saran bagaimana seharusnya mesjid memperbaharui dirinya agar tetap ’aktual’ dengan zamannya.

Perubahan sosial, rinciannya begitu banyak. Hampir semua aspek kehidupan tidak ada yang diam dalam kurun sejarahnya. Perubahan tersebut dapat diidentifikasi dari perbedaannya, antara dulu dan saat ini. Yang paling real adalah perkembangan teknologi informasi. Titik kulminasinya, saat ini, dengan perkembangan teknologi, dunia serasa sempit dan sejengkal. Oleh karena itu,di sini hanya akan dibahas yang relatif bisa ’mewakili’ dan ”mesjid” mempunyai signifikansi dalam hal tersebut.
Dalam pola kekuasaan, demikian Kuntowijoyo dalam bukunya Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, dunia ini telah mengalami perubahan yang progresif. Dulu, seorang dianggap mempunyai kekuasaan ketika ia mempunyai banyak petak-petak tanah. Kita mengenalnya denga sebutan feodalisme. Tipe kekuasaan seperti ini terjadi sekitar abad ke 16, 17, hingga 18. Sistem ekonomi masyarakatnya masih bercorak agraris. Dengan demikian, Sang penguasa adalah mereka para tuan tanah.Peristiwa revolusi industri di Inggris menjadi titik awal perubahan sistem kekuasaan feodalisme. Arus industrialisasi datang dengan deras dan begitu ekspansif dengan kecepatan yang luar biasa. Inilah awal kemunculan sistem kapitalisme. Sebuah sistem dengan para pemilik kapital sebagai penguasanya. Masyarakat industri (industrial society) salah satu cirinya. Buruh tani dalam masyarakat feodal dipaksa untuk mengkonversi diri menjadi para karyawan yang berhadapan dengan mesin dan ”jam kerja”. Sebelumnya, mereka berhadapan dengan alam dan tumbuhan. Manusia dirobotkan dengan industri yang mengepungnya. Dalam sistem kapitalisme, kekuasaan dilembagakan melalui sebuah korporasi yang bisa saja menggurita dengan ’memakan’ korporasi lainnya.
Pada tahap selanjutnya, kapitalisme tidak hilang, tetapi mendapatkan pesaing. Sistem teknokratisme namanya. Para penguasa dari sistem ini adalah mereka para teknokrat, kaum intelegensia, dan kaum cendekiawan. Ini adalah golongan minoritas kreatif yang mempunyai pengaruh di dalam masyarakat untuk mengontrol kesadaran dan sugesti sosial mereka. Kekuasaan mereka dilembagakan dalam bentuk birokrasi, perbankan, persekolahan/kampus, dan lembaga teknostruktur lainnya. Para kapitalis tidak lagi dapat berkuasa mutlak. Mereka harus melakukan perizinan pada birokrasi (baca: negara) untuk dapat melakukan ekspansi usaha. Sekolah menjadi jalan mobilisasi ekonomi yang pasti untuk mendapatkan akses kapital (uang). Bank adalah syarat mutlak untuk melakukan akumulasi kapital (bunga). Demikianlah, pada sistem inilah, kita berada sekarang. Secara objektif, ketiga sistem di atas (feodalisme, kapitalisme, dan teknokratsime) tentu masih berkesistensi sampai saat ini, hanya saja intensitas dan dominasinya yang berbeda.
Dalam sistem teknokrasilah mesjid menghadapi tantangan yang besar. Sistem ini memproduksi begitu banyak institusi untuk menyelenggarakan penguasaannya atas masyarakat di bawahnya. Aktifitas pemerintahan tidak lagi diurus di masjid karena sudah ada kantor kepala desa. Begitu juga aktifitas pendidikan. Sekolah-sekolah bermunculan. Fungsi ekonominya hampir digantikan berbagai Koperasi Unit Desa yang ada. Kapitalismepun tidak kalah berbahayanya dengan teknokratisme. Pabrik-pabrik dan ”jam kerja” memiliki daya magnet tersendiri terhadap konsentrasi dan kesadaran masyarakat. Demikian juga berbagai pusat perbelanjaan, bioskop, game centre, dan seterusnya. Masjid tergusur dari fungsinya di kehidupan sehari-hari. Ia tidak lagi menjadi pusat cahaya yang menerangi tetapi telah menjadi bagian dari sistem dunia sekuler yang justru semakin meredupkan dan mendegradasi peran sejarahnya.
Otoritas imam masjid juga ikut tergusur. Ia menjadi pemimpin tanpa otoritas lagi karena ’kekuasaannya’ hanya sekedar di masjid. Kenyataan ini semakin diperburuk dengan stigma ”subversif” dari rezim Soeharto yang membuat mimbar-mimbar masjid menjadi bisu terhadap berbagai masalah sosial. Belum lagi perdebatan internal umat seputar hubungan masjid (agama) dan politik (negara). Sampai di sini, kita bisa menamai fenomena ini dengan sekularisasi; bukan sekularisme. Mesjid menjadi lembaga privat. Masyarakat mendatanginya sekedar untuk mendapatkan ketenangan psikologis dan sejenak mengundurkan diri dari hiruk pikuk dunia yang tak peduli.
Masih dalam kaca mata Kuntowijoyo, ada fenomena menarik seputar masjid dalam era kontemporer ini. Tesis Muslim Tanpa Masjid adalah salah satunya. Kuntowijoyo mengamati, ada sebuah generasi muslim yang telah lahir dari rahim sejarah. Pemahaman keagamaan mereka tidak didapat dari lembaga konvensional yang ada (masjid) tetapi melalui televisi, kampus, film, dan pihak-pihak anonim lainnya. Fenomena ini memiliki kaitan erat dengan kejatuhan rezim Soeharto dan naiknya Habibie. Demikianlah, masjid memang telah dimiskinkan sejarah. Generasi Muslim Tanpa Masjid ini juga tidak merasa bagian dari umat sebagai reference group; mereka adalah bagian ”mahasiswa” bukan umat. Generasi ini telah luput dari perhatian masjid. Atau memang masjid telah kalah bersaing dengan berbagai lembaga produksi sebuah teknostruktur yang besar dan sophiticated itu.
Baiknya kita adil dalam melihat masjid. Ada juga fenomena menarik mengenai masjid dan partisipasinya dalam perubahan sosial, terutama masjid kampus. Atas represifnya rezim Orde Baru, maka gerakan dakwah umat mengalami pergeseran orientasi. Awalnya, kepentingan Islam dan umat selalu diperjuangkan (oleh Masyumi) melalui struktur (politik kekuasaan) kemudian, atas depolitisasi politik Islam, umat Islam melihat celah di masjid –masjid kampus untuk dijadikan sarana dakwah alternatif waktu itu. Maka masjid kampus merupakan fenomena dakwah menarik dalam sejarah masjid dan kaitannya dengan perubahan sosial di Indonesia. Masjid Salman ITB merupakan pioner dalam hal ini. Gaungnya kemudian sampai di Masjid Kampus UGM dan seterusnya.
Secara psikologis, fenomena masjid kampus ini juga merupakan alternatif dan upaya ’pengunduran diri’ para mahasiswa dari berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan secara sekuler di kampus-kampus tersebut. Hingga saat ini, nampaknya sejarah tersebut masih dan akan senantiasa berlangsung. Sebuah kabar baik untuk masa depan umat ini.
***
Bagaimana seharusnya mesjid bereksistensi di masa depan. Yang telah dilakukan oleh mesjid telah banyak dalam rangka memperbaharui dirinya untuk tetap relevan dengan semangat zaman. Dalam hal ini tentu harus dibedakan antara mesjid kampus dengan mesjid yang berada di tengah-tengah masyarakat umum.
Kita mengindari generalisasi.
Mesjid kampus sebaiknya mengintensifkan diri dalam pembinaan pemahaman dan pemikiran keagamaan mahasiswanya. Isu-isu kampus juga jangan luput dari perhatian. Hal ini untuk meneguhkan kembali holistisitas mesjid dalam kehidupan. Lembaga zakat yang terdapat di kampus sebaiknya diarahkan pada pemberian beasiswa bagi mahasiswa jamaah mesjid yang membutuhkan. Dalam mesjid kategori kedua, sebaiknya, disamping mengkonsistenkan pengajian-pengajian yang ada, tentu dengan berbagai modifikasi agar masyarakat tidak jenuh, mesjid harus membangun kemandirian masyarakat. Maksudnya kemandirian ekonomi. Zakat yang ada harus produktif. Mesjid harus peka terhadap realitas jamaah sekitarnya, baik dalam hal kondisi keluarga, ekonomi sosial, kesehatan, dan seterusnya. Upaya ini tidak harus selalu struktural (politis). Masjid harus tetap menjadi gerakan di bawah. Karena pembinaan jamaah tentu lebih kongkrit (sosial-ekonomi), dari pada memikirkan (baca: pengajuan proposal) yang ’di atas’. Di atas semua itu, perkembangan teknologi informasi dan perubahan paradigma masyarakat harus diperhitungkan oleh para pengurus mesjid. Kita tentu tidak ingin mesjid ditinggalkan untuk selama-lamanya karena tidak menawarkan solusi; hanya ritual tanpa substansi. Allaahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar