Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Powered By Blogger

Selasa, 05 Oktober 2010

Definisi Modal Sosial

Modal sosial (social capital) dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat
untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok
5Sejumlah kejanggalan dan kegagalan tersebut muncul di permukaan karena para ekonom
penganut mazab neo-klasik menganggap bawa faktor-faktor kultural dari perilaku (behavior) manusia
sebagai makluk rasional dan memiliki kepentingan diri (self interested) menjadi sesuatu yang
given/dikesampingkan (Fukuyama, 1992).
6Singkatnya kehidupan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, dimana kebudayaan
membentuk seluruh aspek manusia, termasuk perilaku ekonomi dengan sejumlah cara yang kritis.
Ditegaskan oleh Smith bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yang sangat kompleks tertancap
dalam kebiasaan - kebiasaan serta aturan - aturan yang lebih luas. Oleh karenannya aktivitas ekonomi
merepresentasikan bagian yang krusial dari kehidupan sosial dan diikat bersama oleh varietas yang luas
dari norma-norma, aturan-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang
bersama-sama membentuk masyarakat (Muller, 1992).
3
dan organisasi (Coleman, 1999). Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan,
modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi7 (berhubungan) satu
sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan
ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.
Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau
norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan,
modal sosial sebagai suatu rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh
jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya
koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.
Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999) mendefinisikan,
modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk
kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu
sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara
bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai
serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat
mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk
menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai setiap
hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual
understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok
untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Senada
dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala
sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai
kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsurunsur
utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan
kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan human
capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’
manusia. Ivestasi human capital kovensional adalah dalam bentuk seperti halnya pendidikan
universitas, pelatihan menjadi seorang mekanik atau programmer computer, atau
menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya. Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas
yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu
darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau
paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya negara
(bangsa).
Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural seperti agama,
tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan untuk
menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentukbentuk
human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma
moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan
7Menurut Burt (1992), kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada suatu kondisi
dimana komunitas itu mau saling berbagi untuk mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai
bersama. Apabila titik temu etis-normatif ini diketemukan, maka pada gilirannya kepentingankepentingan
individual akan tunduk pada kepentingan-kepentingan komunitas kelompok.
4
seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikankebajikan
sosial umum.
Bank Dunia (1999) meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke
demensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk
kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukanlah sekedar
deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang (underpinning) kehidupan sosial,
melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yang
menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama.
Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai
dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya
(Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena itu Adler dan Kwon (2000) menyatakan,
dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai
struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari
proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Demensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat
bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta didalamnya diikat
oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999).
Demensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu
masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling
percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi
sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999).
Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu
norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan
bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan
nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah
merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang
muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang
dianut bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataanpernyataan
yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.
Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat
ditarik suatu pemahaman bahwa demensi dari modal sosial adalah memberikan penekanan
pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan
senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses
perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai
dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku,
serta berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap
yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling
percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya.
Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus
menerus proaktif baik dalam mempertahakan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun
dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.
Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), demensi inti telaah dari modal sosial
terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu
jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi
yang imbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang
ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut
akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas
prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan
5
menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
mendukungnya.

Ketimpangan Pembangunan Desa dan Kota

Menyeruaknya arus reformasi mendorong perubahan di berbagai aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam sistem birokrasi di Indonesia. Kebijakan pemerintah menerapkan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32/33 Tahun 2004 dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri merupakan langkah awal dalam menghilangkan kelemahan pemerintahan sentralistik pada masa yang lalu. Dengan desentralisasi diharapkan pelayanan kepada masyarakat akan dapat lebih ditingkatkan. Itulah harapan yang selalu diagung-agungkan oleh para pakar pemerintahan beberapa tahun terakhir.

Akibat dari perubahan tersebut di atas, maka daerah dihadapkan pada berbagai persoalan – persoalan, baik dalam pemerintahan, pembangunan maupun pelayanan masyarakat. Satu diantara sejumlah persoalan yang ada adalah perbedaan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang satu dengan wilayah lainnnya. Perbandingan antara kedua wilayah tersebut kemudian dipahami sebagai ketimpangan atau kesenjangan. Tapi yang pasti dari timbulnya kesenjangan tersebut juga menimbulkan timbulnya ”kecemburuan” yang berakibat kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara mendasar.

Dalam pandangan para ahli pembangunan, wilayah pedesaan dianggap mampu apabila ; sarana dan prasarana dasar tersedia dan masyarakatnya memiliki kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam kehidupan mereka, baik fisik maupun sosial-psikologis. Masyarakatnya secara umum memiliki tingkat pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti pangan, kesehatan dan gizi, pendidikan, perumahan dan lingkungan hidup atau dengan kata lain kuat dari segi ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan dan politik. Di dalam proses pengembangan desa terdapat dua unsur pokok, yaitu pihak yang mengembangkan dan yang dikembangkan. Sebagai sebuah proses perubahan sosial, pembangunan desa identik dengan pembangunan masyarakat (community development) serta pembangunan sarana dan prasarana dasar. Dalam konteks ini, masyarakat hendaknya dipahami sebagai setiap orang yang berada di luar sektor publik atau pemerintah yang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam menciptakan kekuatan ekonomi di pedesaan.

Kaitannya dengan desentralisasi, pembangunan desa dapat menjadi sebuah dilema bagi pemerintah daerah, terutama daerah yang memiliki fundamental ekonomi lemah, maka dapat dipastikan bahwa desentralisasi pada daerah terserbut hanyalah sebuah nama, penerapannya akan menjadi lain dan bahkan akan terjadi ekstraksi atau eksploitasi. Ekstraksi sumberdaya alam seperti tambang memang memberi keuntungan bagi pemerintah daerah, tetapi masyarakat desa yang bermukim di sekitar lokasi tambang tidak melihat secara nyata hasil dari kegiatan tersebut, bahkan sebaliknya dampak negatif justru mereka yang merasakan.

Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, ketergantungan tetap saja ada antara daerah dan pusat. Hal tersebut juga terjadi antara wilayah dalam satu daerah, dimana desa sangat tergantung terhadap kota. Sehingga pusat-pusat kekuasaan (kota) menjadi jauh lebih makmur dari pada periferinya ; kekuasaan menjadi identik dengan kemakmuran dan kekayaan sekelompok orang. Akibatnya, orang-orang di daerah termasuk para pengusaha melakukan pendekatan terhadap para elit daerah agar dapat akses terhadap sumberdaya ekonomi yang ada. Berbagai kemudahan dan fasilitas untuk mengakses sumberdaya ekonomi ini kemudian menjelma menjadi sebuah komoditi yang dapat diperdagangkan juga, yang mungkin hal ini dapat dikatakan sebagai penyalah gunaan wewenang, antara lain dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena keterbatasan, terutama rendahnya fundamental ekonomi dan sumberdaya yang terbatas, menjadikan daerah sangat tergantung terhadap pusat, bahkan apa saja yang dilakukan daerah lain akan berusaha pula dilaksanakan meskipun potensi yang dimiliki berbeda.

Pembangunan saat ini tidak jauh berbeda dengan pendekatan sentralistik, kalau dulu daerah ditempatkan sebagai obyek yang pasif, saat ini wilayah desa dan kecamatan terutama rakyat yang menempati posisi pasif. Pendekatan dan praktek-praktek pembangunan seperti ini sesungguhnya jauh dari tujuan dan sasaran pelaksanaan destoda dan pada akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang semu, tidak bertumpu kepada pertumbuhan produktifitas nyata. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya fenomena dan realitas sosial yang tidak paralel dan serba kontradiksi dengan pertumbuhan ekonomi itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Keberhasilan pemerintah daerah di masa yang akan datang, hendaknya diukur dengan indikator-indikator sosial ekonomi yang lebih masuk akal dan nyata, misalnya tringkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan dan status kesehatan serta ketersediaan fasilitas pelayanan umum seperti ; air bersih, listrik, sarana telekomunikasi dan transfortasi. Indikator tersebut tidak hanya diukur pada wilayah perkotaan, tetapi juga sangat penting pada wilayah pedesaan. Tanpa indikator yang jelas dan terukur, birokrasi era otonomi akan tidak jelas dalam menetapkan pola dan program pembangunannya, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat non fisik. Dengan adanya indikator sebagaimana disebutkan di atas, maka target untuk setiap pemerintah daerah akan dapat ditetapkan. Dalam kaitan ini, kinerja eksekutif dan legislatif yang ada di daerah juga hendaknya diukur dengan menggunakan indikator yang lebih nyata, karena kewenangan yang mereka miliki sangat menentukan nasib rakyat. Ketika persoalan ekonomi masyarakat belum tertangani secara baik, maka kinerja pemerintah daerah perlu dipertanyakan, terutama bagi yang berwenang dalam pengambilan kebijakan.

Salah satu cara atau pendekatan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam membangun wilayah pedesaan adalah dengan melibatkan seluruh stakeholder untuk meningkatkan status ekonomi rakyat secara berkelanjutan, mengingat kemampuan pemerintah daerah yang sangat terbatas. Perhatian hendaknya dipusatkan pada perbaikan ekonomi rakyat, karena akan dapat mempengaruhi perbaikan kondisi kesejahteraan sosial secara umum. Kondisi masyarakat , khususnya di wilayah pedesaan sangat membutuhan kebijaksanaan pembangunan yang didasari oleh determinisme ekonomi antara lain indikatornya adalah peningkatan pendapatan perkapita. Untuk melakukan usaha perbaikan ekonomi masyarakat, peran pemimpin dalam pemerintahan otonomi akan sangat menentukan. Pemerintah daerah harus memiliki rencana dan program yang jelas berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan status sosial masyarakat pedesaan.

Di masa mendatang, sasaran pembangunan pemerintah daerah pada wilayah pedesaan hendaknya difokuskan pada tiga determinan pokok, yaitu ; pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan dan status kesehatan. Dalam bidang ekonomi, usaha dan pekerjaan masyarakat diarahkan pada peningkatan produktifitas lokal secara terus menerus, sehingga mampu menciptakan keuntungan dan meningkatkan tabungan masyarakat di pedesaan. Kebijaksanaan pembangunan daerah di masa datang perlu difokuskan pada pengembangan masyarakat sebagai sebuah entitas – sosial ekonomi. Dalam hal ini pendekatan pertumbuhan ekonomi perlu diarahkan ketingkat yang lebih kecil (pedesaan), dengan menggunakan ukuran pada tingkatan yang sama, antara lain pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita dan peningkatan produktivitas. Untuk menunjang kegiatan tersebut, sudah barang tentu dioerlukan optimalisasi potensi sumber daya melalui pendayagunaan dan penciptaan pemerataan kesempatan untuk memperoleh sumber daya sosial yang memadai seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini, penguasaan teknologi dan keterampilan oleh masyarakat dapat dijadikan sebagai modal asar dalam pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial pada wilayah pedesaan.

Jumat, 01 Oktober 2010

Keputusan Di Tengah Kesulitan


Judul : The Power of 10-10-10
Penulis : Susan Welch
Penerbit : Penerbit Kaifa, PT. Mizan Pustaka 2009
Hal : 252 halaman
Harga : Rp. 42.000,-
Peresensi : Lestari N.

10-10-10? Ada apa dengan tanggal 10 bulan Oktober tahun 2010? Itu yang pertamakali ditanyakan oleh seorang teman ketika saya menuliskan kata The Power of 10-10-10. Rupanya angka tersebut memang menarik dan lumayan unik. Bahkan kehadiran buku ini yang merupakan buku tentang metode pengambilan keputusan tersebut, gagasannya muncul dalam situasi yang unik pula. Bayangkan seorang perempuan karir yang sangat bersemangat mendongkrak karirnya, memaksakan diri mengajak ke dua anaknya pergi ke Hawaii, 12 jam perjalanan dengan pesawat dari kota tempat tinggalnya, untuk menghadiri sebuah konferensi penting (hal 16).

Yang terjadi bukannya anak-anaknya bahagia, dan konferensinya sukses, namun semuanya malah berantakan. Saat itulah sang menyesali keputusannya yang “memaksakan” diri mengajak anak-anaknya itu. Coba saja kalau dia bisa memutuskan dalam waktu 10 menit dengan keputusan meninggalkan anak-anaknya di rumah, paling-paling kedua anaknya akan rewel seharian, serta segera melupakan ketidak hadiran sang mama, lalu 10 bulan kemudian mereka akan tetaplah menjadi anak-anak yang tidak bermasalah, dan 10 tahun kemudian semua baik-baik saja, baik dari sisi karir dan kehidupan anak-anaknya. Itulah awal gagasan 10-10-10.

Sepuluh (10) yang pertama pada dasarnya berarti “Saat itu juga”, itu bisa berarti dalam 10 menit, satu jam, satu minggu atau bahkan satu menit. Sepuluh (10) kedua mewakili suatu titik di masa depan yang belum terlalu jauh, ketika reaksi awal dari keputusan Anda sudah berlalu, tapi konsekuensi-konsekuensinya masih terjadi dengan cara-cara yang bisa Anda duga, bisa berarti 10 bulan, 1 tahun, atau bahkan 2 tahun. Sementara sepuluh (10) ketiga mewakili suatu waktu di masa mendatang yang fakta atau perinciannya sepenuhnya masih samar, bisa 10 tahun, 8 tahun, atapun 20 tahun.

Jurus 10-10-10 ini memang cukup banyak berhasil di terapkan orang yang merasa dalam kondisi sulit namun harus mengambil keputusan. Tetapi bukan berarti 10-10-10 hanya bisa dilakukan saat Anda merasa terjepit maupun terpaksa, karena banyak orang justru menggunakannya untuk pengambil keputusan sehari-hari. Tentu saja untuk menentukan langkah 10-10-10 diperlukan analisis. Semua data dan informasi yang Anda kumpulkan harus di analisis dengan cermat, dibandingkan dengan nilai-nilai diri Anda yang paling pribadi, keyakinan-keyakinan, sasaran-sasaran, mimpi-mimpi, dan kebutuhan-kebutuhan Anda. Pendeknya dengan langkah ini akan mendorong Anda untuk bertanya: “Dengan mempertimbangkan semua pilihanku dan akibatnya, keputusan apa yang akan paling membantuku dalam menciptakan sebuah kehidupan yang kurancang sendiri?”, Dengan menjawab pertanyaan tersebut, Anda memperoleh solusi 10-10-10 (halaman 24).

Para ahli sosiologi sudah lama sependapat bahwa pekerjaan adalah sumber utama identitas dalam kehidupan kita, yang memberi kita arah, tujuan, dan bertindak sebagai pengelola utama hari-hari kita. Demikian pentingnya pekerjaan yang menjadi dari bagian martabat kita yang kemudian menjadikannya sebuah kegiatan yang seringkali membutuhkan ketepatan kita dalam mengambil keputusan. Di sinilah 10-10-10 menjadi sebuah alat penolong dalam setiap langkah dan tindakan yang hendak kita ambil dalam menjalankan pekerjaan kita.

Tentu saja keputusan yang diambil dengan langkah 10-10-10 dalam urusan ini tidak semuanya tampak cemerlang pada awalnya. Bisa saja keputusan itu membuat gundah bagi pengambilnya, seperti alkisah Razvan, usahawan ulet keturunan Rumania. Razvan yang muda dan penuh semangat ingin membuka sebuah perusahaan telepon selular di negaranya. Masalahnya, pacarnya seorang pramusaji, Mihaela, sedang menunggunya di Bukarest, dan ingin terlibat dan ikut membuka perusahaan tersebut.

Masalahnya menurut Razvan sang kekasih ini tidak cakap mengelola keuangan. Lalu dengan metode 10-10-10, 10 menit pertama Razvan sebuah jawaban YA untuk kerjasama tersebut tampak mungkin masuk akal, dan jawaban TIDAK akan menimbulkan “Perang Dunia Ketiga”, istilah yang dipakai Razvan. Gambaran 10 bulan nampaknya lebih tegas, hasilnya akan buruk atas apapun pilihan yang akan dibuat. Jika mereka bekerjasama, kemungkinan akan terjadi pertengkaran demi pertengkaran atas sikap pengelolaan yang berbeda atas perusahaan tersebut. Namun bila mereka tidak jadi bekerjasama maka kemungkinan untuk berpisah juga nampak jelas. Ketika gambaran ke 10 tahun ke depan diambil, maka bayangan mengerikan lebih jelas: “Sebuah kehidupan yang setiap harinya diisi dengan pertengkaran-pertengkaran”. Menurut Razvan, apa yang dimiliki mereka berdua hanyalah masa lalu, dan bukan masa depan. Dengan itu keputusan Razvan melalui 10-10-10 telah dibuat. Apakah dia bahagia? Tentu saja tidak. Bagaimanapun juga kebahagian tidak sekadar yang ada di depan mata, dan ada kebahagiaan lain yang sedang menunggunya.

10-10-10 juga bisa digunakan untuk melihat ketika karir Anda tampak tidak bergerak. Jika karir Anda tampak mandek, coba ingat kapan dan bagaimana hasil tinjauan kinerja terakhir Anda yang sesungguhnya. Jangan beranggapan bahwa kinerja Anda baik karena boss Anda tidak mengatakan sebaliknya. Dan ingat jangan menggunakan 10-10-10 untuk mengambil keputusan apakah Anda akan tetap tinggal atau pergi sebelum Anda memperoleh umpan balik yang jujur yang Anda butuhkan tentang kinerja Anda. Baru setelah itu Anda bisa menentukan apakah kemandekan Anda dapat diperbaiki, atau ternyata menyelamatkan diri adalah satu-satunya harapan (halaman 158).

Bagaimana? Sudah siap memainkan 10-10-10 dengan tangkas dan cantiknya?