A. Penimages-gazalidahuluan
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.
B. Sekilas Tentang al-Ghazali
Al- Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran.[1] Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
C. Pendidikan Al-Ghozali
Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al – Razkani al – Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al – Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al – Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al – Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al – Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh. Setelah Imam al – Juwaini wafat ia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H, disamping memberikan kuliah, ia juga mengkaji filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kecermelangan, keharuman namanya dan kesenangan duniawi yang melimpah ruah di Baghdad melebihi ketika ia di Mu’askar, dikota ini ia sakit dan secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kegemerlapan duniawi tersebut.
D. Sosio Politik
Al-Ghozali hidup pada saat keadaan politik yang kacau. Pada saat itu pemerintahan Abbasiah sudah tidak ada pengaruhnya dengan munculnya Dailami Saljuk kemudian Qowamuddin Nizamul Mulk selain itu juga terjadi perang saudara.
E. Sosio Ekonomi
Al–Ghazali adalah anak dari seorang yang wara’ yang hanya makan dari usahanya sendiri, dengan pekerjaan memintal dan menjual wol di sebuah toko tua di kota Thus Propinsi Khurasa, wilayah Persi. Meski pekerjaan ayahnya tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari, namun ayahnya adalah seseorang yang cinta dengan Ulama’ selain itu dia terus menerus meminta kepada Tuhan (Allah SWT) agar anak – anaknya senantiasa mendapat anugerah dan hidayah dari Allah SWT supaya menjadi anak yang berguna dan berpengetahuan luas. Dengan penuh harapan kiranya kedua putranya kelak dapat memenuhi harapan dan keinginannya. Selain itu keadaan perekonomian dinegara itu sedang kacau, karena adanya kholifah yang korupsi, sehingga menyebabkan banyaknya kefakiran.
F. Al-Ghazali dan Tasawuf
Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, “Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.[2]
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.[3]
Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[4]
G. Konsep Ma’rifat al-Ghazali
Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.[5]
Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.[6]
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[7]
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.
Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam.
Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”
Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.
Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.
Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.
H. Penyebaran ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Al Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di dunia. Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau yang terkenal dengan nama Ikhya’ Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama). Dalam kitab ini pembahasannya dibagi menjadi empat bab dan masing-masing dibagi lagi menjadi 10 pasal, yaitu:
Pada bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah). Bab kedua: tentang adat istiadat (rubu’ al – adat). Bab ketiga: tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu’ al – muhlikat). Sedangkan bab yang keempat: tentang maqamat dan ahwal (rubu’ al – munjiyat). Namun yang menjadi isi pokok pada kitab tersebut adalah ikhlas dengan tauhid Allah dan Ikhlas menjalankan tauhid Allah. Namun yang menjadi kekurangannya adalah al ghazali tidak membahas tentang jihad dalam kitab tersebut, padahal pada saat itu dalam keadaan perang.
I. Penutup
Demikianlah sedikit uraian tentang konsep tasawuf al-Ghazali. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang geliat al-Ghazali dalam dunia tasawuf . Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca Wallâhul hâdî ilâ sabîli al-rasyâd.
*Ditulis oleh: Misbahus Surur (Mahasiswa STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang).
[1] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al-Ghazali. Hal 3
[2] Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Prof Dr Amin Syukur, MA dan Drs Masyharuddin, MA.
[3] Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, Dr. Muhammad Musthafa Hilmi. Hal 124
[4] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.
[5] Tasawuf, Harun Nasution. Makalah Paramadina hal 4
[6] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.jilid 4 Hal 235
[7] Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad
Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Rabu, 15 Desember 2010
Jumat, 10 Desember 2010
Takhalli, Tahalli, dan Tajalli
Manusia dilengkapi oleh Allah dua hal pokok, yaitu jasmani dan rohani. Dua hal ini memiliki keperluan masing-masing. Jasmani membutuhkan makan, minum, pelampiasan syahwat, keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan kemasyhuran. Rohani, pada sisi lain, membutuhkan kedamaian, ketenteraman, kasih-sayang dan cinta.
Para sufi menegaskan bahwa hakekat sesungguhnya manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan. Kebahagiaan badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang, kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia. Sebagai inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah rohani adalah kemuliaan, jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia harus bersih.
Dalam rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi.
Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia.
Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.
Setelah tahap pengosongan dan pengisian, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wataala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridhoan-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai maâ'rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.
Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, manusia sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi seorang malaikat yang berbadan manusia. Rohaninya telah mencapai ketinggian kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang yang telah masuk pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah. Orang-orang yang telah memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai derajat tertinggi kerohanian manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah, Maâ'ruf al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi, Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan lain sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup dapat ditemui, yaitu kebahagiaan sejati.
Para sufi menegaskan bahwa hakekat sesungguhnya manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan. Kebahagiaan badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang, kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia. Sebagai inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah rohani adalah kemuliaan, jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia harus bersih.
Dalam rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi.
Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia.
Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.
Setelah tahap pengosongan dan pengisian, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wataala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridhoan-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai maâ'rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.
Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, manusia sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi seorang malaikat yang berbadan manusia. Rohaninya telah mencapai ketinggian kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang yang telah masuk pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah. Orang-orang yang telah memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai derajat tertinggi kerohanian manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah, Maâ'ruf al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi, Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan lain sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup dapat ditemui, yaitu kebahagiaan sejati.
10 Ayat menjadi komunikator yang efektif.
Dari satu sisi komunikator adalah mereka yang menyampaikan gagasan dan informasi kapada pihak lain. Tetapi di sisi lain sang komunikator wajib mendengar! Tulisan ini menyoroti pentingnya seorang pemimpin yang berperanan sebagai komunikator sedikit menahan emosi dan perasaannya untuk berbicara. Dengan kemampuan untuk mendengar aspirasi bawahan atau pihak yang lain ternyata komunikasi seorang pemimpin lebih bisa dimengerti. Membuat orang lain mengerti memang penting, sebab gagasan kita bisa masuk dan bisa terlaksana. Berusaha untuk berhenti bicara dan mendengarkan apa yang menjadi gagasan orang lain, sebaliknya membuat komunikasi berjalan timbal balik disusul adanya saling pengertian antara pihak-pihak yang terkait di dalam sebuah organisasi. Ayat-ayat untuk menjadi komunikator yang efektif, dari sisi mendengar aspirasi adalah:
1.Berhentilah bicara--sebab begitu kita mulai membuka mulut, usaha kita ditujukan sepenuhnya untuk membuat orang lain mengerti. Rangkaian argumen yang kita ungkapkan hanya untuk memperkuat posisi. Belajar untuk berhenti bicara bukanlah persolan yang mudah terutama bagi orang-orang yang merasa memiliki jabatan penting dan menganggap orang yang dihadapinya lebih rendah posisinya.
2.Biarkan orang lain bicara dengan leluasa--sebab apa yang dipikirkan dan juga dirasakan orang lain merupakan energi yang kuat untuk bekerja atau berhenti bekerja. Biarkan orang lain memiliki kesempatan yang cukup nyaman untuk mengutarakan segala gagasannya. Sering kali ide-ide brilian justru muncul dari arah yang tidak pernah kita sangka-sangka sebelumnya. Syarat untuk menjaring ide-ide cemerlang adalah kemampuan untuk menahan diri tidak menyela pembicaran orang lain.
3.Berikan apresiasi dan perhatian kepada pembicara--sebab sesederhana apapun yang disampaikan seorang pembicara, perlu diketahui adanya gunung es yang masih tersembunyi dibalik keberanian si pembicara untuk membuka mulut. Jangan ada keinginan untuk memotong pembicaraan orang lain dengan alasan bahwa waktu rapat sangat terbatas atau dengan mengatakan sebaiknya gagasan orang itu dituliskan saja.
4.Janganlah menyela dan mengganggu pembicara--sebab pembicara ingin sekali mendapatkan perhatian, memalingkan wajah pun sangat mengganggu perasaan dari pembicara. Sangat tidak dibenarkan bila kita memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara, sementara kita menulis atau membaca koran, misalnya. Kalaupun pembicara dan pendengar itu terhalang oleh hiasan bunga di meja, kita perlu segera memindahkannya. Biarkan si pembicara tuntas menyuarakan pikirannya.
5.Berusaha mencermati uraian yang disampaikan--dengan memperhatikan segala hal yang terkait kita harus bisa melihat pesan itu dari isi, bahasa dan konteks yang muncul dalam pembicaraan. Pemahaman terhadap karakter pembicara pun sangat berguna untuk mengambil intisari pembicaraannya.
6.Usahakan untuk bersabar mendengar pembicaraan--sehingga kita tidak perlu menyela dan segera ingin menjawab sesuai dengan argumen yang kita yakini. Jika kesabaran kita bisa dirasakan oleh pembicara, kita berada pada posisi yang aman.
7.Berusaha untuk menahan segala macam emosi--yang mungkin muncul sebagai reaksi spontan atas pembicaraan yang disampaikan. Kebalikan dengan sikap sabar, kalau kita mengumbar emosi dan naik pitam, segala pertimbangan kita menjadi negatif dan tidak akan menyelesaikan masalah.
8.Seandainya kita merasa perlu berargumen, sampaikan dengan cara yang santun dan bijaksana--sebab usaha memberikan kesempatan berbicara adalah sarana komunikasi yang saling menguntungkan, tidak untuk memenangkan satu pihak terhadap pihak lainnya.
9.Gunakan strategi bertanya untuk menggali informasi lebih dalam--sebab selalu ada hal-hal yang tak terungkap atau belum sempat diutarakan oleh seseorang yang berbicara. Bertanya menjadi sarana untuk memastikan keinginan pembicara yang sebenarnya.
10.Berhentilah bicara--sebab betapapun pentingnya pikiran kita, kita belum akan bisa memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara bila kita tidak menahan mulut untuk bersuara. Strategi mendengar yang efektif adalah dengan diam dan menyimak pembicaraan. Ini juga bisa menjadi waktu bagi kita untuk berpikir lebih jernih.
10 ayat menjadi komunikator yang efektif ini saya ambil dari buku-buku manajemen yang mudah-mudahan bisa kita ambil manfaatnya.
1.Berhentilah bicara--sebab begitu kita mulai membuka mulut, usaha kita ditujukan sepenuhnya untuk membuat orang lain mengerti. Rangkaian argumen yang kita ungkapkan hanya untuk memperkuat posisi. Belajar untuk berhenti bicara bukanlah persolan yang mudah terutama bagi orang-orang yang merasa memiliki jabatan penting dan menganggap orang yang dihadapinya lebih rendah posisinya.
2.Biarkan orang lain bicara dengan leluasa--sebab apa yang dipikirkan dan juga dirasakan orang lain merupakan energi yang kuat untuk bekerja atau berhenti bekerja. Biarkan orang lain memiliki kesempatan yang cukup nyaman untuk mengutarakan segala gagasannya. Sering kali ide-ide brilian justru muncul dari arah yang tidak pernah kita sangka-sangka sebelumnya. Syarat untuk menjaring ide-ide cemerlang adalah kemampuan untuk menahan diri tidak menyela pembicaran orang lain.
3.Berikan apresiasi dan perhatian kepada pembicara--sebab sesederhana apapun yang disampaikan seorang pembicara, perlu diketahui adanya gunung es yang masih tersembunyi dibalik keberanian si pembicara untuk membuka mulut. Jangan ada keinginan untuk memotong pembicaraan orang lain dengan alasan bahwa waktu rapat sangat terbatas atau dengan mengatakan sebaiknya gagasan orang itu dituliskan saja.
4.Janganlah menyela dan mengganggu pembicara--sebab pembicara ingin sekali mendapatkan perhatian, memalingkan wajah pun sangat mengganggu perasaan dari pembicara. Sangat tidak dibenarkan bila kita memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara, sementara kita menulis atau membaca koran, misalnya. Kalaupun pembicara dan pendengar itu terhalang oleh hiasan bunga di meja, kita perlu segera memindahkannya. Biarkan si pembicara tuntas menyuarakan pikirannya.
5.Berusaha mencermati uraian yang disampaikan--dengan memperhatikan segala hal yang terkait kita harus bisa melihat pesan itu dari isi, bahasa dan konteks yang muncul dalam pembicaraan. Pemahaman terhadap karakter pembicara pun sangat berguna untuk mengambil intisari pembicaraannya.
6.Usahakan untuk bersabar mendengar pembicaraan--sehingga kita tidak perlu menyela dan segera ingin menjawab sesuai dengan argumen yang kita yakini. Jika kesabaran kita bisa dirasakan oleh pembicara, kita berada pada posisi yang aman.
7.Berusaha untuk menahan segala macam emosi--yang mungkin muncul sebagai reaksi spontan atas pembicaraan yang disampaikan. Kebalikan dengan sikap sabar, kalau kita mengumbar emosi dan naik pitam, segala pertimbangan kita menjadi negatif dan tidak akan menyelesaikan masalah.
8.Seandainya kita merasa perlu berargumen, sampaikan dengan cara yang santun dan bijaksana--sebab usaha memberikan kesempatan berbicara adalah sarana komunikasi yang saling menguntungkan, tidak untuk memenangkan satu pihak terhadap pihak lainnya.
9.Gunakan strategi bertanya untuk menggali informasi lebih dalam--sebab selalu ada hal-hal yang tak terungkap atau belum sempat diutarakan oleh seseorang yang berbicara. Bertanya menjadi sarana untuk memastikan keinginan pembicara yang sebenarnya.
10.Berhentilah bicara--sebab betapapun pentingnya pikiran kita, kita belum akan bisa memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara bila kita tidak menahan mulut untuk bersuara. Strategi mendengar yang efektif adalah dengan diam dan menyimak pembicaraan. Ini juga bisa menjadi waktu bagi kita untuk berpikir lebih jernih.
10 ayat menjadi komunikator yang efektif ini saya ambil dari buku-buku manajemen yang mudah-mudahan bisa kita ambil manfaatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)