Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Powered By Blogger

Senin, 31 Mei 2010

Indonesia Adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila•

I. Pendahuluan
Relasi agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami ketegangan sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun 1950-1960. Maklumlah, relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya.
Dari sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama (Islam) dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya Islam Liberalism & Human Rights bahwa; religion and politics are one. Jika memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi. Bahkan Piagam Madinah oleh beberapa ahli dianggap merupakan sebuah konstitusi dikarenakan di dalamnya memuat kontrak di antara kelompok-kelompok masyarakat di Madinah yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan dan pemerintahan. Piagam Madinah sering disebut sebagai Konstitusi Madinah, seperti dirumuskan oleh salah seorang ahli terkemuka tentang Islam dari Barat, Montgomery Watt yang menyebut Piagam Madinah sebagai The Constitution of Medina.
Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika Serikat yang menyatakan memiliki konsep separation of church and state saja sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam konteks Amerika pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan campur tangan negara atas prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan dinding pemisah (wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam jalannya pemerintahan bernegara. Bahkan menurut David A.J. Richards dalam Foundations of American Constitutionalis dinyatakan bahwa bapak pendiri bangsa Amerika meyakini peran agama bagi Amerika. Sebagaimana dipaparkan oleh Jhon Adam pada tahun 1765 yang memperlihatkan relasi antara agama dan negara.
Tentu saja relasi agama dan negara di Amerika memiliki perbedaan dengan pandangan keindonesiaan. Indonesia memperlihatkan terdapatnya ”jalinan mutualisme” antara agama dan negara. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama dan agama dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Keberadaan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama mempengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (masyarakat). Dengan kata lain agama juga berperanserta dalam pemerintahan.
Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur.
Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.

II. Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

a. Istilah Sekularisme
Sebelum ”membaca” sejauhmana pentingnya membangun agama yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Maka perlu ditelusuri keberadaan pandangan ”oposisinya” yaitu prinsip sekularisme.
Sekularisme sendiri berasal dari terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis ”laiguisme”, namun kata ”laigue” sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah timbulnya makna sekulerisme itu sendiri. Asal kata yang tepat adalah ”laikos” yaitu berasal dari kata Yunani. Laikos bermakna apa yang berhubungan dengan masyarakat umum untuk dibedakan dengan dari ”clirous” (tokoh agama). Jadi menurut Muhammad Abid Al-Jabiri ”laque” adalah siapa saja yang bukan tokoh agama atau tidak termasuk golongan pendeta.
Kemudian penggunaannya disimpangkan dalam konteks kenegaraan di Prancis dikarenakan terjadinya peminggiran terhadap (baca; memusuhi) agama dan tokoh agama. Hal itu disebabkan ketika itu pengajaran-pengajaran agama menjadi wewenang gereja yang dilaksanakan di gereja-gereja. Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat umum dilakukan oleh negara yang terbatas kepada ilmu-ilmu seperti matematika, ilmu alam dan humaniora.
Dari pendekatan semantik dan sejarah itu oleh Jean Lacrowa diambil kesimpulan bahwa ”Sesungguhnya pemikiran laguisme (sekulerisme-pen) bukanlah lawan dari pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya ia menuntut adanya pembedaan antara apa yang duniawi dan apa yang sakral.” Kesalahpahaman terhadap makna sekularisme semakin mendalam ketika nilai-nilai agama semakin hari semakin ditinggalkan oleh masyarakat Barat. Hal itu dikarenakan kepentingan individu menjadi begitu terganggu dengan keberadaan nilai-nilai agama. Agama dianggap terlalu mengekang kebebasan individu sebagai subjek yang mengelola negara.

b. Perdebatan mengenai negara dan agama dalam BPUPK
Pembahasan mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya tidak saja berasal ketika rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tetapi sudah berlangsung jauh hari di antara para pendiri bangsa. Namun tulisan ini hanya membahas mengenai perbedaan cara pandang tersebut dalam rapat BPUPK. Hal itu dikarenakan dalam sidang-sidang BPUPK tersebutlah ditemukan kesepakatan mengenai bagaimana relasi antara negara dan agama dalam semangat ke-bhineka tunggal ika-an Indonesia.
Pidato Soepomo pada hari ketiga, 31 Mei 1945, di sidang BPUPK membahas mengenai hubungan negara dan agama. Menurutnya setelah menguraikan mengenai dasar-dasar negara maka konsekuensinya perlu dipaparkan olehnya persoalan yang timbul dari pada teori integralistiknya. Menurut Soepomo soal-soal itu adalah;
1. perhubungan negara dan agama;
2. cara bentukan pemerintahan;
3. perhubungan negara dan kehidupan ekonomi.

Sesungguhnya pembahasan antara para pendiri negara (founding fathers and mothers) dan framers of constitution itu bukanlah berkaitan dengan relasi antara agama dan negara. Akan tetapi lebih kepada bentuk negara, apakah berbentuk negara Islam atau negara nasionalisme. Hal itu dapat terlihat jika dicermati perkataan Soepomo berikut ini;
”Oleh anggota yang terhormat tuan Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah; paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagaimana telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.”

Soepomo bukan bermaksud menjauhkan nilai-nilai agama dari negara. Karena itu tidaklah mungkin. Selagi negara diisi oleh orang-orang yang beragama, maka tidaklah mungkin nilai-nilai agama dihindari dalam menjalankan negara. Soepomo menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut;
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan bersifat ”a religieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu hendaknya Negara Indonesia yang juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.

Bahkan Soekarno juga menjelaskan bahwa konsep pemilihan kepala negara Indonesia juga berkesesuaian dengan paham agama (baca; Islam). Dari perkataan Soekarno ini akan memperlihatkan bahwa nilai-nilai agama tidak dapat tidak akan selalu ”berkelindan” dalam menjalankan sistem bernegara.
Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie ”vooronderstelt erfelijkheid”, -turun temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap Kepala Negarapun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-kepala Negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat?

Oleh karena relasi agama dan negara sudah diperlihatkan dan dinyatakan tidak dapat dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para bapak bangsa, maka sangat tidak mungkin, dalam konteks kekinian, kita menghindari nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan negara.

c. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila dan UUD 1945
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.
III. Prinsip Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara
Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa tindakan setiap manusia, termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan manusia, baik yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan, berdimensi ke-Tuhan-an atau berdimensi ibadah.
Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah (wakil Tuhan, pengelola alam semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga kesinambungan alam itu sendiri.
Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka sudah barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan kesempatan kepada setiap aparatusnya (pejabat negara, pegawai negri sipil, pegawai BUMN/BUMD, anggota TNI, anggota Polri, dan lainnya) melakukan penyalahgunaan kekuasaan, seperti: pelanggaran hak asasi manusia, tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan hal-hal destruktif lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru bertentangan dengan hakekat ajaran agama dan tujuan negara didirikan.


IV. Penataan Hubungan antara Agama dan Negara
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa yang dikatakan Samuel P. Huntington dalam bukunya Who Are We?The Challenges to America’s National Identity (New York: Simon & Schuster, 2004) bahwa: Betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik, diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan ekonomi, tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, kita masih bertahan hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan.
Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan “kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Jhon Locke dalam tulisannya yang terkemuka berjudul An Essay Concerning The True Original, Extent and End of Civil Government menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan legislasi.
These are the bounds which the trust that is put in them by the society and the law of God and nature have set to the legislative power of every commonwealth, in all forms of government.

Karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agama-agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin) , untuk terus ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia.
Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.
Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara.

V. Ketegangan Hubungan antara Agama dan Negara
Ketegangan hubungan antara agama dan negara terjadi manakala di antara keduanya tidak terjadi hubungan yang simbiosis-mutualistis dan saling checks and balances. Dalam hubungan seperti itu dimisalkan ketika negara tidak memberikan kemerdekaan kepada warganya untuk beribadat sesuai dengan agamanya masing-masing, atau sebaliknya agama menganggap negara menutup diri terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam situasi seperti itu, terbuka peluang agama cenderung berupaya mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi atau negara melakukan represi terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama berkaitan dengan keadilan dan persamaan hak asasi manusia.
Hal itulah yang terjadi di banyak negara di dunia ketika negara tidak mampu mengakomodir nilai-nilai religus agama. James M. Lutz dan Brenda J. Lutz mengemukan ketegangan yang berkaitan dengan keagamaan dalam buku berjudul Global Terrorism. Buku itu mengupas bagaimana seluruh nilai-nilai agama, dari Yahudi, Kristen hingga Islam, dapat disimpangkan menjadi kekuatan teror yang menghancurkan tatanan bernegara. Bahkan konflik itu sudah berlangsung ribuan tahun lamanya. Kasus komunitas Yahudi di Provinsi Judea pada masa kerajaan Roma yang terjadi pada 66 sampai 71 Sebelum Masehi. Komunitas tersebut mencoba melakukan pembangkangan berdasarkan agama terhadap kerajaan Roma. Konflik di India yang digerakkan oleh komunitas agama Sikh pada 1970 di India. Aum Shinrikyo di Jepang, Islam di Aljazair (1950-1960an), dan banyak agama lainnya di dunia. Bahkan ketegangan antarnegara dapat ditimbulkan oleh agama dan menjadi krisis yang sulit dihentikan sebagaimana terjadi antara Palestina dan Israel.
Agar ketegangan di atas tidak terjadi di Indonesia, maka aparatus negara harus menyadari bahwa dalam mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai keagamaan, sementara itu tokoh agama harus menyadari bahwa dalam melakukan internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai-nilai demokrasi, persatuan, dan persaudaraan.

VI. Kebebasan Beragama dalam Negara Pancasila
Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah diperjelas dalam beberapa pasal-pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah:
1. Negara hanya menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama masing-masing. Ini berarti, kebebasan untuk tidak memeluk agama tidak dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang jika disertai dengan upaya mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena secara tidak langsung merusak jaminan negara kepada warganya untuk memeluk agamanya masing-masing.
2. Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya masing-masing. Kalau memeluk agama Islam harus beribadat menurut Islam, bukan berdasarkan cara lain. Begitu pula kalau memeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain sebagainya.
3. Ritus-ritus keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama pemeluknya harus dapat mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam segala aspeknya serta dapat memperteguh persatuan dan persaudaraan di kalangan masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.

VII. Indonesia Merupakan Negara Agamis
Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita tidak cukup lagi mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan ”bukan negara sekuler” sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Sebab pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan negara sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk memposisikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar negara.
Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Negara agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara agamis, yaitu:
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis, yakni:
1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya.
3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.
4. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.
7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui pembentukan UU yang secara implisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain sebagainya.
Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.”
Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia) merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan nilai-nilai substansial dari beberapa agama.
Negara agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara sekuler menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa), maka negara agamis justru sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.

VIII. Penutup
Negara agamis yang dianut Indonesia justru menempatkan agama-agama pada posisi yang tinggi, sehingga dalam konstitusi dirumuskan menjadi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Untuk itu, agama-agama di Indonesia harus memanfaatkan rumusan konstitusi itu untuk memasukkan prinsip-prinsip keagamaan terutama prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan negara. Dengan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, persatuan dan persaudaraan antar komponen bangsa akan tetap terjaga, sehingga memantapkan posisi agama-agama di Indonesia sebagai ”kerohanian yang dalam” yang menopang kohesi sosial, daya tahan, dan keutuhan NKRI.

Daftar Pustaka
Al qur’an.
Abuddin Nata (edt), Problematika Politik Islam di Indonesia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 2002.

David A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University Press, New York, 1989.

David Goldblatt, An Introduction to The Social Sciences: Understanding Social Change, Knowledge and The Social Sciences; Theory, Method, Practice, Routledge dan Open University, London, 2000.

Ernest Barker (edt), Social Contract, essays by Locke, Hume, and Rousseau, Oxford University Press, London, 1947.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism, Routledge, London, 2004.

Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003.

Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003.

Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.

RM, A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004.

Satya Arinanto, Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997.

Yudi Latif, Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008.

The Random House Dictionary of the English Languange, Random House Inc, New York, 1983.

Indonesia adalah negara islam

memahami alasan saya mengapa "Indonesia adalah negara Islam" kenapa?

karena dasar negara kita adalah PANCASILA yang sila kesatunya adalah "ketuhanan yang Maha Esa",

maha menurut kamus besar bahasa indonesia adalah "ma·ha-
bentuk terikat
1 sangat; amat; teramat: mahabesar; mahamulia;
2 besar: mahaguru; mahasiswa

bingung? begini maksudnya kata "maha" tidak bisa berdiri sendiri, dia menjelaskan kata setelahnya. kata maha menunjukan bahwa kata selanjutnya yang dijelaskan bersifat "sangat, amat, teramat atau besar" tapi ada yang hilang dari 4 kata tersebut bahwa maha jika dikaitkan dengan tuhan bersifat absolut (tak ada tandingan, perubahan, penyimpangan selamanya). misal "Maha Tinggi" artinya "sangat tinggi, tak ada yang akan lebih tinggi selamanya" beda dengan kata "langit sangat tinggi" saat ini atau suatu saat pasti ada yang lebih tinggi dari langit. "sangat tinggi" adalah posisi tinggi yang relatif "sangat tinggi" dibumi utara akan beda dengan "sangat tinggi" dibumi selatan, dan beda dengan "sangat tinggi" dipusat bima sakti. sedangkan maha tinggi adalah posisi tinggi yang absolut, dimanapun itu selalu paling tinggi. "maha" dalam PANCASILA bukan dari bahasa arab yang artinya "bersinar", tapi merupakan pengembangan dari bahasa sangsekerta yang artinya "sangat" dan "great".

contoh lain: atom dasar pembentuk unsur tidak disebut sebagai maha dasar, kenapa? karena atom terdiri dari dasar lain proton dan electron, dan terus sejalan dengan semakin maju ilmu fisika maka akan ada yang lebih dasar.

contoh lain: misal Allah Maha Benar, artinya Allah secara absolute paling benar, dari sisi manapun, kapan pun, dimanapun, dalam kondisi apa pun Allah paling benar, jika ada yang sudut pandang/sisi yang menyatakan Allah tidak paling benar, maka sudut pandang/sisi tersebut salah.

"Ketuhanan yang Maha-Esa" artinya agama yang resmi dan menjadi azas di Indonesia adalah agama yang menganut konsep bahwa tuhan itu Maha-Esa, atau tuhan itu hanya satu tak ada tandingan, perubahan dan penyimpangan selamanya. di Indonesia agama apa yang menganut konsep bahwa, tuhan itu Maha-Esa?

Trinitas bukan Maha-Esa, kenapa karena adakalanya(dari satu sisi) dianggap satu ada kalanya (dari sisi lain) dianggap tiga, ke-esa-annya tidak absolut , lihat penjelasan tentang trinitas di sini. dan tidak semua agama nasrani setuju dengan trinitas, artinya tuhannya ada tiga, dan hanya satu yang tertinggi. jadi nasrani baik yang menganut trinitas atau tidak menurut saya tidak bisa dianggap sebagai agama yang menganut "ketuhanan yang Maha-Esa".

Bagaimana dengan hindu menurut hukum di india hindu adalah "Acceptance of the Vedas with reverence; recognition of the fact that the means or ways to salvation are diverse; and the realization of the truth that the number of gods to be worshipped is large, that indeed is the distinguishing feature of Hindu religion." ada beberapa pendapat/aliran hindu yang monotheist tapi egak ada yang tegas, jelas menyatakan siapa tuhannya yang Maha-Esa itu.

Bagaimana dengan buddha menurut kitab sucinya

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."

Budha juga memiliki konsep tuhan yang berbeda dengan agama lain, kata "esa" dalam "Maha-Esa" di budha bukan berarti satu, tapi adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". jadi buddha gak bisa dibilang agama monotheist murni, bahkan disebut non-theist

Tapi hati-hati Buddha punya pancasila sendiri, yang bukan dasar negara Indonesia. Pancasila budha ini sering dikaitkan dengan Moral islam, kemiripan konsep tuhan diatas dengan surat al-ikhlas, dan pancasila buddha dengan Moral islam, mendorong beberapa ahli teologi, dan ilmuan islam/buddha menyimpulkan kalau Buddha Siddharta Gautama sebenarnya nabi/rasul bagi umat muslim, seperti halnya Isa As putra Mariam AS. hal inipun didukung dengan fakta bahwa nabi&rasul itu banyak, cuman hanya 25 yang wajid diketahui muslim. bahkan tahun 90an saya pernah membaca disebuah surat kabar (kalau egak Pikiran Rakyat atau Republika) yang menceritakan tentang adanya 11 ilmuan buddha yang melakukan riset tentang sejarah kehidupan buddha, dan akhirnya sebagian besar rame-rame masuk islam.

tapi jangan khawatir apapun dasar agama suatu negara tidak perlu khawatir, penganut agama lain akan dianiyaya, dinegara islam seperti mesir atau iran agama lain hidup dengan damai, dinegara nasrani seperti inggris dan roma, islam hidup dengan damai. yang lucu justru gereja di irak di bom oleh kumpulan pasukan bersenjata sebagian besar beragama nasrani dan inggris adalah pendukung pasukan tersebut.

jadi kesimpulannya Indonesia adalah negara islam, seperti yang disebutkan dalam piagam jakarta " Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" perubahan pada sila ke 1 yang dilakukan oleh M. Hatta seperti nya tidak mengubah Pancasila jadi sekuler, strategi yang dilakukan M. Hatta mirip yang dilakukan oleh seorang ulama dalam meloloskan diri dari hukuman mati yang akan dilakukan penguasa yang memaksa semua ulama untuk mengakui bahwa kitab Allah adalah "baru" seperti mahluk lainnya.

Sabtu, 29 Mei 2010

Lebih baik keluar dari jamaah ?

”Dulu ana merasa semangat saat aktif dalam da'wah. Tapi belakangan
rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat
ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh."Begitu keluh kesah seorang
mad'u kepada seorang murobbinya di suatu malam. Sang murobbi hanya
terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya.

"Lalu apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu ? "
sahut sang murobbi setelah sesaat termenung. " Ana ingin berhenti saja,
keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah
yang justru tidak Islami. Juga dengan organisasi dakwah yang Ana
geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila
begini terus, Ana mendingan sendiri saja." Jawab mad'u itu.

Sang murobbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman
di wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu
memang sudah diketahuinya sejak awal. " Akhi, bila suatu kali antum
naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah
sangat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos
bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan
untuk tetap sampai pada tujuan?". Tanya sang murobbi dengan kiasan
bermakna dalam. Sang mad'u terdiam dan berfikir. Tak kuasa hatinya
mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. "
Apakah antum memilih untuk terjun kelaut dan berenang sampai tujuan?".
Sang murobi mencoba memberi opsi. "Bila antum terjun ke laut, sesaat
antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasa
kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba . tapi
itu hanya sesaat.

Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan?. Bagaimana bila
ikan hiu datang. Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam
datang, bagaimanan antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan
dihamparkan dihadapan sang mad'u. Tak ayal, sang mad'u menangis
tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian.
Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihormati justru
tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

"Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang
paling utama menuju ridho Allah? " Bagaimana bila ternyata mobil yang
antum kendarai dalam menempuh
jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil
itu tergeletak dijalan, atau mencoba memperbaikinya? . Tanya sang
murobbi lagi.

Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkattangannya :"Cukup akhi, cukup. Ana sadar..
maafkan Ana. Ana akan tetap Istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk
mendapatkan medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana
diperhatikan. Biarlah yang lain dengan urusan pribadinya masing-masing.

Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan
membahagiakan ana kelak dengan janji-janji- Nya. Biarlah segala
kepedihan yang ana rasakan menjadi pelebur dosa-dosa ana". Sang mad'u
berazzam dihadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.

Sang murobbi tersenyum "Akhi, jama'ah ini adalah jamaah manusia. Mereka
adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik
kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki . Mereka
adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah
untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia
terbaik pilihan Allah." "Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan
mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah
ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah
kesalahan mereka dimata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap
dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik
dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah
jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi
dengan jalan itu , maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan
baik?" sambungnya panjang lebar. "Kita bukan sekedar pengamat yang
hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah
kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita
adalah da'i. kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh
Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya
mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.

"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara
yang tadinya kecil.tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang
yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!" "Bekerjalah dengan
ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang
kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena
peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada isyu atau gosip
tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum
terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak
hina menemui kemuliaannya. "

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraaan melebar
dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang
mad'u bergegas mengambil wudhu untuk berqiyamu lail. Malam itu. Sang
mad'u sibuk membangunkan mad'u yang lain dari asyik tidurnya. Malam itu
sang mad'u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar
bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya.
Demikian yang kami harapkan dari antum sekalian
Semoga bermanfaat


sumber: http://haroqi. multiply. com/journal/ item/607/ Lebih_baik_ Keluar_dari_ Jamaah?replies_ read=2

MAKNA YANG TERGERUS MASA

Ada sebuah fenomena unik yang kini sering sekali terjadi di sekitar kita. Tentu kita setidaknya pernah beberapa kali mendengar orang-orang non-muslim begitu akrab dengan kalimat-kalimat Islami dan pujian kepada Allah, seperti Alhamdulillah, Insya Allah, bismillah, dan Assalamualaykum. Mereka dengan spontannya mengucap Insya Allah ketika berjanji. Dengan tanpa beban berucap salam ketika bertemu, mengucap basmallah ketika memulai pekerjaan, atau mengucap hamdalah ketika mendapat kebahagiaan.

Ada beberapa sudut pandang yang bisa kita pakai dalam memaknai fenomena ini. Hal yang harus kita syukuri adalah bahwa umat Islam ternyata sudah akrab dengan kalimat-kalimat Islami ini sehingga orang-orang non-muslim ikut latah menggunakannya dalam kehidupan keseharian mereka secara refleks.

Namun, di satu sisi, ada hal lain yang harus coba kita renungi. Sangat mungkin fenomena ini terjadi karena kita telah kehilangan (atau menghilangkan?) makna dari kalimat-kalimat Islami yang kita ucapkan tadi. Salam yang memiliki makna begitu besar, kini seperti tereduksi menjadi tanpa beda dengan ucapan selamat pagi, halo, dan seterusnya.

Kalimat Insya Allah pun sekarang telah sering disalahartikan dan disalahgunakan. Seharusnya jika sebuah janji sudah kita labeli dengan kata Insya Allah, yang harus kita lakukan adalah benar-benar berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menepatinya. Bukan malah menjadikan kalimat Insya Allah sebagai apologi untuk tidak menepati janji. Ketika ditanya kenapa tidak menepati janji, dengan entengnya kita menjawab : Kan aku bilang, Insya Allah. Kalau nggak jadi ya berarti Allah nggak mengizinkan.
Demikian juga dengan ucapan lainnya seperti hamdalah dan bismillah. Kita mengucapkannya tanpa memahami maknanya, tanpa nyawa. Ucapan dahsyat itu kemudian menjadi mati tanpa makna di ujung bibir kita.

Kalimat mulia yang seharusnya menjadi pembeda kita umat Islam dengan umat non–Islam menjadi tanpa fungsi. Kita tetap tidak punya beda dengan mereka. Sama saja. Mereka juga mengucapkan kalimat-kalimat tersebut tanpa nyawa, tanpa makna. Hamdalah bagi mereka hanyalah kata lain untuk pekikan hore ketika mendapt kebahagiaan. Insya Allah bagi mereka hanyalah sebuah kosakata baru yang cocok ditempatkan sebagai pengiring sebuah janji. Salam bagi mereka hanya sebuah alternatif untuk menyapa. Tanpa nyawa, tanpa makna.

Hal ini jelas bukan suatu hal yang patut dibiarkan begitu saja. Kalimat-kalimat tersebut harus kembali mendapatkan ruh dan nyawanya. Kalimat-kalimat itu harus kembali menjadi pembeda, mejadi karakter umat Islam. Ia harus terucap dari hati yang paham makna, bukan dari hati yang lalai yang membuat kalimat itu hanya sebatas lip service saja, sebuah pemanis bibir.

Kesungguhan kita dalam menggunakan dan memaknai ucapan-ucapan kita akan terlihat jelas. Mana salam yang diucapkan karena kita memang ingin mendoakan keselamatan pada saudara kita, atau sekadar salam basa-basi untuk menyapa supaya terkesan lebih Islami. Kalimat bismillah yang terucap karena ingin mendapat barakah dan kemudahan dari pekerjaan yang akan dilakukan akan terasa berbeda. Ucapan hamdallah ketika mendapat kebahagiaan akan bagitu nyata bedanya jika diiringi tekad untuk menjadikan nikmat itu sebagai sarana untuk memberi kebaikan pada sekitar kita, sebagai bentuk syukur kepada-Nya.

Apa yang keluar dari hati pada kedalaman makna akan menjelma tetes embun pagi yang menyegarkan setiap pendengarnya, yang menentramkan jiwa, yang menghentakkan gelora semangat di dada. Dan itulah ucapan seorang muslim. Setiap kata dari mulutnya adalah mutiara. Tiada keluar dari bibirnya kecuali kata-kata indah berlumur kebaikan. Dan itu pula yang seharusnya menjadi ucapan kita. Bukankah kita muslim?

Selasa, 25 Mei 2010

TRANSFORMASI ILMU PENGETAHUAN PROSESNYA BERJALAN SEPANJANG ZAMAN

1. Kebenaran Ilmiah Al-Quran
Al-Quran dalam buku Membumikan Al-Quran karyanya Dr. M. Quraish Shihab adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil. (QS 2:185).
Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau --antara lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah) mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi "hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut."
Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh."
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri. Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:36).
Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.

2. Sistem Penalaran menurut Al-Quran
Salah satu faktor terpenting yang dapat menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang mempunyai hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan pada pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik, bila tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan jelek bila dinyatakannya jelek. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri, tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang menguatkan atau melemahkannya (materi dan pribadi).
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolongan orang Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Quraniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran), adalah bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim cepat-cepat meninggalkan medan pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah saw., yang diisukan oleh kaum musyrik. Sikap keliru ini lahir akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum mencapai tingkat kedewasaannya.
Al-Quran tidak menginginkan masyarakat baru yang dibentuk dengan memandang atau menilai suatu ide apa pun coraknya hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali seorang Rasul. Sebelum dia telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi kafir; ia pasti tidak merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur kepadaNya (QS 3:144).
Ayat tersebut walaupun dalam bentuk istifham, tetapi --sebagaimana diterangkan oleh para ulama Tafsir-- menunjukkan "istifham taubikhi istinkariy" yang berarti larangan menempatkan "al-fikrah Al-Qur'aniyyah" hanya sampai pada fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang lebih tinggi sampai pada fase ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini juga melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dalam alam pikiran manusia.
Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan alam masyarakat, Al-Quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian kepada mereka: Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? (QS 39:9).
Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? (QS 3:66).
Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ia-lah yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu pengetahuan.

3.Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari --meskipun oleh para ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak mengenal kata "kekal". Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern.
Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan.
Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai "summary of statictical averages" (ikhtisar dari rerata statistik).
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah --terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan kenyataannya belum tentu demikian.
Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena sering kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori.
Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera, dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata, setelah beberapa saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada bumi."
Segala undang-undang ilmiah yang diketahui hanya menyatakan saling bergantinya "psychological states" (keadaan-keadaan jiwa) yang ditentukan pada diri kita oleh sebab-sebab tertentu (mengambil sebab dari musabab atau dari ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala undang-undang ilmiah pada hakikatnya relatif dan subjektif.
Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas.
Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan peredarannya mengelilingi matahari.

4. Perkembangan Tafsir
Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga berarti mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Dalam abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah bertanya kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat abba dalam ayat: wa fakihah wa abba. Beliau menjawab: "Di bumi apakah aku berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam Al-Quran menurut pendapatku".
Bahkan, sebagian di antara para ulama, bila ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apa pun. Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn Musayyab, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau berkata: "Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran sedikit pun." Demikian juga halnya dengan Sali bin 'Abdullah bin 'Umar, Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i, dan lain-lain.
Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Quran selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti: pengetahuan bahasa yang cukup, misalnya, menguasai nahw, sharaf, balaghah, dan isytiqaq; juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira'ah, Asbab Al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain sebagainya.
Sejarah penafsiran Al-Quran dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah saw., atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian berkembang, sehingga dengan tidak disadari, bercampurlah hadis-hadis shahih dengan Isra'iliyat (kisah-kisah yang bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.
Tafsir Al- Thabari, misalnya, adalah satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih (menguatkan) salah satu pendapat di antaranya. Sedangkan Tafsir Fakhr Al-Razi (w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab yang lebih banyak menggambarkan pendapat Fahr Al-Razi sendiri; sementara riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak dituliskan, kecuali dalam batas-batas yang sangat sempit.
Demikianlah, dan dari masa ke masa timbullah kemudian beraneka warna corak tafsir: ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan-persoalan yang dibahas pun bermacam-macam: ada yang hanya membahas arti dari kalimat-kalimat yang sukar saja (Tafsir Gharib), seperti Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy dan Al-Khazin; ada yang memperhatikan persoalan balaghah (sastra bahasa) seperti Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu pengetahuan, logika dan filsafat seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti Al-Qurthubiy; dan ada pula yang hanya merupakan "terjemahan" kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir Al-Jalalain.
Agaknya benar juga pandangan sementara pakar, bahwa "Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu kitab apa pun yang telah ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan pendapat para ahli terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya Al-Quran."
Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Tafsir Fakhr Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga sebagian ulama tidak menamakan kitabnya sebagai Kitab Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat dan logika disinggung dengan sangat luas.
Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis: "Al-Fakhr Al-Razi di dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara luas yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya sebagian ulama berkata: 'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir'."
Kelanjutan dari penafsiran ilmiah ini adalah penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa planet hanya tujuh (sebagaimana pendapat ahli-ahli Falak ketika itu) dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori tujuh planet tersebut ternyata salah. Karena planet-planet yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya saja berjumlah 10 planet, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi langit, kesepuluh planet itu hanya laksana setetes air dalam lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh angkasa raya.

Setiap galaksi, menurut mereka, rata-rata memiliki seratus biliun bintang, sedangkan seluruh ruang alam semesta didiami oleh berbiliun-biliun galaksi.

Jadi, yang membenarkan bahwa planet hanya tujuh berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata telah keliru. Kekeliruan tersebut merupakan satu dosa besar bila dia memaksakan orang untuk mempercayai pendapat tersebut atas nama Al-Quran, atau dia meyakini hal tersebut sebagai satu akidah Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran. Bila seseorang membenarkan satu teori ilmiah berdasarkan Al-Quran, berarti pula dia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai teori tersebut.
Kekeliruan mereka itu serupa dengan kekeliruan sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin (1804-1872) dengan beberapa ayat Al-Quran, atau mereka yang membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak sedikit dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles Darwin, 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I) sebagai berikut: "Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir."
Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah sejenis makhluk yang --oleh para penganut evolusionisme-- disebut Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut, bukannya merujuk kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan penyelidikan dan penelitian mereka. Walaupun demikian, ada sementara Muslim yang kemudian berusaha membenarkan teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran seperti: Mengapakah kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah, sedangkan Dia telah menjadikan kamu berfase-fase (QS 71:13-14).
Fase-fase ini menurut mereka bukan sebagaimana apa yang kami pahami dan yang diterangkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai dengan paham penganut-penganut teori Darwin dalam proses kejadian manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai sesuatu yang tak bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di permukaan bumi (QS 13:17) dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for life" yang menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi, dan yang semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan membenarkan teori Darwin, tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, sebagai berikut: "Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan penafsiran-penafsiran lainnya."
Atau apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar. "Teori Darwin tidak membatalkan --bila teori tersebut benar dan merupakan hal yang nyata-- tentang satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran. Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin. Mereka itu orang-orang mukmin dengan keimanan yang benar dan Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan sembahyang dan kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa dan kekejaman yang dilarang Allah SWT sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori tersebut adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun."
Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran; setiap ditemukan suatu teori cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk membenarkan atau menyalahkannya, karena apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang sangat baik untuk menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat guna membantah cemoohan ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu: Janganlah kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal ini menjadikan mereka mencerca Allah dengan melampaui batas, karena kebodohan mereka (QS 6:108).
Ayat ini melarang kita mencemoohkan mereka, karena cercaan kita merupakan sebab dari cercaan mereka kepada Allah SWT. Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan membenarkan atau menyalahkan suatu teori dengan ayat-ayat Allah (Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak membahas persoalan-persoalan tersebut secara mendetil. Tidak membahas secara mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung secara sepintas lalu kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum ditemukan atau diketahui oleh manusia di masa turunnya Al-Quran, seperti firman Allah SWT:
Apakah orang-orang kafir tidak berpikir sehingga tidak mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya bersatu/bertaut, kemudian kami ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air (QS 21:30).
Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi, tadinya merupakan suatu gumpalan. Dan pada suatu masa yang tidak diterangkan oleh Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisah oleh Allah SWT. Hanya ini yang dimengerti dari ayat tersebut dan merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mempercayainya. Seorang Muslim tidak dapat menyatakan bahwa ayat tersebut menguatkan suatu teori, atau lebih tepat dikatakan sebagai hipotesis tentang pembentukan matahari dan planet-planet lainnya, apa pun teori tersebut.
Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya mengenai terjadinya planet-planet tata surya. Ia boleh berkata bahwa ia berasal bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan pecah dan terpisah-pisah menjadi planet-planet kecil akibat panas yang sangat keras. Ia juga dapat menyatakan bahwa terjadinya planet sebagai akibat tabrakan antara dua matahari, atau disebabkan karena pecahnya matahari itu sendiri, dan lain-lain. Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia tidak berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut dengan memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya. Karena dengan demikian ia menjadikan pendapat tersebut sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan ia juga tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran kecuali bila ia membawakan satu nash yang membatalkannya.

PERBEDAAN MASYARAKAT JAHILIYAH MODERN DAN JAHILIYAH ARAB.

Secara bahasa, jahiliyah berasal dari kata kerja jahala yang berarti bodoh, maka secara harfiyah bisa disimpulkan bahwa bodoh bisa diartikan sebagai tidak bisa membaca, menulis, menjawab soal, atau melakukan hal-hal yang mayoritas orang bisa melakukannya, atau bodoh juga berarti tidak mempunyai pengetahuan ilmiah, primitif, tidak berperadaban dan sebagainya. Dalam kajian Islam, kata jahiliyah sering disematkan kepada Arab pra-Islam. Hanya saja, pengertian jahiliyah yang disematkan kepada Arab pra Islam berbeda dengan arti jahiliyyah secara bahasa.
Mari kita berfikir sejenak, bukankah bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad SAW terkenal dengan kemahiran dibidang Sya’ir? Tidakkah kita tahu bahwa bangsa Arab adalah mereka yang selalu menjaga tradisi dengan menghafal runtutan nasab mereka hingga runtutan yang sejauhnya?. Dengan demikian kata jahiliyyah yang disematkan kepada Arab pra-Islam bukan bermakna bodoh dan primitif. M. Quraish Shihab dalam Mukjizat Al Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaaan Ghaib (Mizan, 1999) menyebut beberapa pengetahuan yang dimiliki masyarakat Arab, diantaranya dalam bidang: Astronomi, tetapi terbatas pada penggunaan bintang untuk petunjuk jalan, atau mengetahui jenis musim. Meteorologi, mereka gunakan untuk mengetahui cuaca dan turunnya hujan. Pengobatan berdasarkan pengalaman. Perdukunan dan semacamnya. Bahasa dan Sastra (sering diadakan musabaqah [perlombaan] dalam menyusun syair atau petuah dan nasehat. Syair-syair yang dinilai indah, digantung di Ka’bah, sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus untuk dapat dinikmati oleh yang melihat atau membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang istimewa. Mereka dinilai sebagai pembela kaumnya. Dengan syair mereka mengangkat reputasi satu kaum atau seseorang dan juga sebaliknya dapat menjatuhkannya).
Maka, jahiliyah yang disematkan kepada masyarakat Arab pra Islam sebenarnya bermakna “ketidaktahuan akan petunjuk ilahi” atau “kondisi ketidaktahuan akan petunjuk dari Allah”. Jahiliyah dalam hal ini bermakna tidak menggunakan hati dan pikiran mereka. Keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab sendiri, yaitu pada masa masyarakat Arab pra-Islam sebelum diturunkannya al-Qur’an. Pengertian khusus kata jahiliyah ialah keadaan seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan al-Qur’an. Masih ingat lagu Bimbo “bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar”. Seperti itulah gambaran Jahiliyah, mereka tahu itu salah, tetapi kekerasan, kesombongan, prestige, jabatan, dan tujuan mengalahkan segalanya. Ajaran Nabi Ibrahim AS kepada mereka tidak diindahkan sedikitpun. Perempuan hanya dijadikan budak pemuas, anak-anak ditelantarkan, yang ada hanya peperangan mencapai tujuan.
Meminjam perkatannya Ibnu Khaldun bahwa “kejadian masa sekarang adalah pengulangan masa lalu dengan frame yang berbeda”. Maka boleh jadi Jahiliyah pada zaman Arab pra Islam akan dan bahkan terjadi pada zaman modern ini. Kita banyak menyaksikan bagaimana orang-orang yang terkenal dengan kecerdasan, keintelektualan mereka tapi dengan semena-mena berbuat seenaknya saja demi mencapai suatu tujuan. Mereka bukan bodoh, tetapi membodohi diri sendiri. Mereka bukan tidak tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Dengan kecerdasannya mereka membodohi masyarakat, dengan kekuasaanya mereka memperbudak rakyat. Lebih parah lagi, kadang Agama menjadi alat legitimasi dari kebrutalan mereka.
Betapa banyak orang-orang yang dianugerahi kecerdasan intelektual dan harta melimpah tetapi masih menjadi budak nafsu, budah harta, budak tahta dan masih menjadi budak para peramal. Mereka takut jika kehilangan harta sehingga apapun dilakukan bahkan pergi ke paranormal, memberikan sesaji dan melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang primitif pada zaman dahulu.
Nastaghfirullah, semoga kita termasuk orang yang selalu diberi cahaya dan petunjuk yang lurus. Sehingga kita tidak menjadi manusia Jahiliyah Modern.

NABI MUHAMMAD DIKLASIFIKASIKAN SEBAGAI RASUL GLOBAL

1. Masa Prakelahiran
Al-Quran menegaskan bahwa para nabi sudah pernah diangkat janjinya untuk percaya dan membela Nabi Muhammad Saw. "Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi, 'Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang membenarkan kamu, niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman kepadanya dan menolongnya.' Allah berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu ?' Mereka menjawab, 'Kami mengakui.'" (QS Ali'Imran [3]: 81). Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Demi (Allah) yang jiwaku berada pada genggaman-Nya, seandainya Musa a.s. hidup, dia tidak dapat mengelak dan mengikutiku" (HR Imam Ahmad).
Tidak jelas kapan dan bagaimana perjanjian yang disinggung ayat tersebut. Setidaknya, ia mengisyaratkan bahwa Allah Swt. telah merencanakan sesuatu untuk Nabi Muhammad Saw., jauh sebelum kelahiran beliau. Karena itu pula sementara pakar menyatakan bahwa kematian ayah beliau sebelum kelahiran, kepergiannya ke pedesaan menjauhi ibunya, serta ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi yang dipersiapkan Tuhan kepada beliau untuk dijadikan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia kelak. Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi'ul Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah (hamba Allah), ibunya Aminah (yg memberi rasa aman), kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa' (yang sempurna dan sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang dada dan mujur). Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 157 juga menginformasikan bahwa Nabi Muhammad Saw. pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara lain disebabkan mereka mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil. (QS Al-A'raf [7]: 157). Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Quran itu, dapat terbaca antara lain dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2 :"... bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran."
Pemahaman mereka berdasarkan analisis berikut :"Gunung Paran" menurut Kitab Perjanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat putra Ibrahim -yakni Nabi Ismail- bersama ibunya Hajar memperoleh air (Zam-Zam). Ini berarti bahwa tempat tersebut adalah Makkah, dan dengan demikian yg tercantum dalam Kitab Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya wahyu Ilahi : Thur Sina tempat Nabi Musa a.s., Seir tempat Nabi Isa a.s., dan Makkah tempat Nabi Muhammad Saw. Sejarah membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah. Karena itu pula wajar jika Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 146 menyatakan bahkan mereka itu mengenalnya (Muhammad Saw.), sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, bahkan salah seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu Abdullah bin Salam pernah berkata, "Kami lebih mengenal dan lebih yakin tentang kenabian Muhammad Saw. daripada pengenalan dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan kami menyeleweng."

2. Masa Prakenabian
Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. sebelum kenabian beliau. Antara lain, "Bukankah Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu, dan Dia mendapatimu bimbang, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu, dan Dia mendapatimu dalam keadaan kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan ?" (QS Al-Dhuha [93]: 6-8).
Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan dilindungi oleh paman dan kakeknya. Beliau hidup di dalam keresahan dan kebimbangan melihat sikap masyarakatnya, lalu Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul. Beliau hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah memberinya kecukupan, khususnya menjelang dan saat hidup berumah tangga dengan istrinya, Khadijah a.s.
Ayat lain yang oleh ulama dianggap berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. pada masa kanak-kanaknya, adalah surat Alam Nasyrah ayat pertama :"Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu ?". Sebagian ulama mengartikan kata nasyrah dengan "memotong/membedah." Memang, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat materi, artinya demikian. Apabila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat non materi, kata itu mengandung arti membuka, memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan dan semaknanya. Yang mengaitkan dengan hal-hal materi berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang "pembedahan" yang pernah dilakukan oleh para malaikat terhadap Nabi Muhammad Saw. kala beliau remaja. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh mufasir An-Naisaburi. Tetapi sepanjang penelitian penulis kata tersebut dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 5 kali, dan tidak satu pun yang digunakan dengan arti harfiah, apalagi bermakna pembedahan. Akan lebih jelas lagi jika hal itu disejajarkan dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa a.s. di dalam Al-Quran. "Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku" (QS Thaha [20]: 25-28)
Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. Tidak pernah membaca satu kitab atau menulis satu kata sebelum datangnya wahyu Al-Quran. "Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya (Al-Quran), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu, (andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan benar-benar ragulah orang yg mengingkari-(mu)" (QS Al-'Ankabut [29]: 48). Ayat ini secara pasti menyatakan bahwa beliau Saw. Adalah orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Banyak ulama yang memahami bahwa kendatipun kemudian Nabi Saw. menganjurkan umatnya belajar membaca dan menulis, namun beliau sendiri tidak melakukannya, karena Allah Swt. ingin menjadikan beliau sebagai bukti bahwa informasi yang diperolehnya benar-benar bukan bersumber dari manusia, melainkan dari Allah Swt.
Ada juga ulama yang memahami bahwa ketidakmampuan beliau membaca hanya terbatas sampai sebelum terbukti kebenaran ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti -setelah hijrah ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut pendukungnya ide ini dikuatkan antara lain oleh kata "sebelumnya" yang terdapat pada ayat di atas. Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran (QS Al-A'raf [7] 157 dan 158), dan keduanya menjadi sifat Nabi Muhammad Saw. Memang kedua ayat itu turun di Makkah, meskipun ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan, "Dia (Allah) yang mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta huruf), seorang Rasul di antara mereka" (QS Al-Jum'ah [62]: 2).
Disisi lain, harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti kelemahan seseorang. Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis, dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia bermohon, "Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis) bagi kami adalah aib." Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal tidak sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah diperoleh.

3. Masa Kenabian
Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat Al-Ahqaf ayat 15 sebagai usia kesempurnaan, Muhammad Saw. Diangkat menjadi Nabi. Ditandai dengan turunnya wahyu pertama Iqra' bismi Rabbik. Sebelumnya beliau tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan kedudukan yang demikian terhormat. Karena itu ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang menguraikan sikap beliau terhadap wahyu dan memberi kesan bahwa pada mulanya beliau sendiri "ragu" dan gelisah mengenai hal yang di alaminya. QS Yunus (10): 94 mengisyaratkan bahwa, "Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci sebelum kamu (QS Yunus [10]: 94).
Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau nanti-nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah Swt. bermaksud menjadikan beliau lebih merindukan lagi "sang kekasih dan firman-firman-Nya" agar semakin mantap cinta beliau kepada-Nya. Surat Adh-Dhuha menyatakan sekelumit hal itu, sekaligus sekilas kedudukan beliau di sisi Allah. Surat ini turun berkenaan dengan kegelisahan Nabi Muhammad Saw. Karena ketidakhadiran Malaikat Jibril membawa wahyu setelah sekian kali sebelumnya datang. "Demi adh-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula membenci-(mu dan siapa pun). Mengapa adh-dhuha -yakni "matahari ketika naik sepenggalah"- yang dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Saw., atau apakah adh-dhuha ada kaitannya dg ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi ?
Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan. Di sini Allah Swt. melambangkan kehadiran wahyu selama ini sebagai kehadiran cahaya matahari yg sinarnya demikian jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidak-hadiran wahyu dinyatakan dengan kalimat, "Demi malam ketika hening."
Dari kedua hal yang bertolak belakang itu, Allah menafikan dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Muhammad Saw. telah ditinggalkan oleh Tuhannya, atau bahkan Tuhan telah membencinya. Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, karena kenyataan sehari-hari membuktikan kekeliruan ucapan seperti itu. Nah, ketidakhadiran wahyu beberapa saat tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir lagi atau Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya. Ketidakhadiran antara lain menjadi isyarat kepada Nabi Muhammad Saw. untuk beristirahat, karena "malam" dijadi kan Tuhan sebagai waktu "beristirahat."
Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran wahyu justru pada saat Nabi Muhammad menanti-nantikannya, membuktikan bahwa wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa. Kenabian Muhammad Saw. bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk menyatakan hal itu, "Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yg pertama di antara rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang di perbuat terhadapku, tdk juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang diwahyukan kepadaku dan aku tak lain seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-Ahqaf [46]: 9). Namun demikian' kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat, "Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia ! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua'" (QS Al-A'raf [7]: 158)
Ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad Saw. hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia. Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Makkah beliau telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia. "Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia ! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua.'" (QS Al-A'raf [7]: 158).
Ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang berada di Makkah, bahkan menurut sementara ulama, semua ayat Al-Quran yang dimulai dengan panggilan "Wahai seluruh manusia," semuanya turun di Makkah kecuali beberapa ayat. Perbedaan yang lain adalah para nabi sebelum beliau selalu mengaitkan kenabian dengan hal-hal yang bersifat suprarasional, baik berbentuk sihir, pengetahuan gaib, mimpi-mimpi, dan lain-lain. Isa a.s. misalnya bersabda, "Sesungguhnya Aku telah datang kepadamu dengan membawa bukti (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat burung untuk kamu dari tanah, kemudian aku meniupnya sehingga ia menjadi burung dengan seizin Allah, dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak (lepra), dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan kepadamu yang kamu makan dan yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu tanda (mukjizat tentang kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman." (QS Ali 'Imran [3]: 49)

Dalam Perjanjian Baru, Isa a.s. juga menyatakan, "Jangan percaya padaku, jika aku tidak mengerjakan pekerjaan Bapak ..."

Demikian halnya Isa a.s. dan para nabi sebelumnya. Oleh karena itu, ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang bersifat suprarasional, Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyampaikan kalimat-kalimat berikut :"Katakanlah, 'Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-'Ankabut [29]: 50)
Dr.Nazme Luke, seorang pendeta Mesir, berkomentar bahwa menghidupkan orang mati, mengembalikan penglihatan orang buta, dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat mengagumkan, tetapi tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk membuktikan bahwa 2+2 = 5. Masyarakat pada masa Isa a.s. membutuhkan bukti-bukti yang bersifat suprarasional, karena mereka belum mencapai tingkat kedewasan yang memadai. Hal ini, tulisnya, sama dengan membujuk anak kecil untuk makan, padahal jika telah dewasa, ia akan makan tanpa dibujuk. Memang Nabi Muhammad Saw. Tidak mengandalkan hal-hal yang bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya. Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran dan diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai tolak ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan. Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero, Worship and the Heros in History dengan menggunakan tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will Durant dalam The Story of Civilization in the World dengan tolok ukur hasil karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Buddha, and Christ, dengan tolok ukur keberanian moral, Nazme Luke dalam Muhammad Al-Rasul wa Al-Risalah dengan tolok ukur metode pembuktian ajaran, serta Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh dlm sejarah, dengan tolok ukur pengaruh serta sederetan pakar lainnya.
"Mustahil bagi siapa pun yg mempelajari kehidupan dan karakter Muhammad (Saw.), hanya mempunyai perasaan hormat saja terhadap Nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari sang Pencipta," demikian Annie Besant menulis dalam The Life and Teachings of Muhammad.
Dalam konteks ini Al-Quran surat Alam Nasyrah ayat 4 menyatakan, "Sesungguhnya Kami pasti akan meninggikan namamu." Dalam ayat lain dinyatakan :"Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad Saw.), dan Kami telah (pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)" (QS Al-Nisa' [4]: 174).

4. Akhlak dan Fungsi Kenabian Muhammad Saw.

Al-Quran mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw. memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi adalah keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga yang antara lain menyatakan bahwa :"Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung" (QS Al-Qalam [68]: 4). Kata "di atas" tentu mempunyai makna yang sangat dalam, melebihi kata lain, misalnya, pada tahap/dalam keadaan akhlak mulia. Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran surat Al-An'am ayat 90 menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul. Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada Nabi Muhammad Saw., "Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh."
Ulama-ulama tafsir menyatakan bahwa Nabi Saw. pasti memperhatikan benar pesan ini. Hal itu terbukti antara lain, ketika salah seorang pengikutnya mengecam kebijaksanaan beliau saat membagi harta rampasan perang, beliau menahan amarahnya dan menyabarkan diri dengan berkata, "Semoga Allah merahmati Musa as. Dia telah diganggu melebihi gangguan yang kualami ini, dan dia bersabar (maka aku lebih wajar bersabar daripada Musa as.)." Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa pastilah Nabi Muhammad Saw. telah meneladani sifat-sifat terpuji para nabi sebelum beliau Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah dalam berdakwah. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang yang amat pemurah, serta amat tekun bermujahadah mendekatkan diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi yang amat menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s., Yahya a.s., dan Isa a.s., adalah nabi- nabi yg berupaya menghindari kenikmatan dunia demi mendekatkan diri kepada Allah Swt. Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat bersyukur dalam nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a.s. diketahui sebagai nabi yang amat khusyuk ketika berdoa, Nabi Musa terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki ketegasan, Nabi Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh dengan kelemah-lembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad Saw. meneladani semua keistimewaan mereka itu.
Ada beberapa sifat Nabi Muhammad Saw. yang ditekankan oleh Al-Quran, antara lain, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia), serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang mukmin" (QS Al-Tawbah [9]: 128). Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi mengajak mereka beriman (baca QS Syu'ara [26]: 3). Begitu luas rahmat dan kasih sayang yang dibawanya, sehingga menyentuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.
Sebelum Eropa memperkenalkan Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. Telah mengajarkan, "Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan baik." "Seorang wanita terjerumus ke dalam neraka karena seekor kucing yang dikurungnya." "Seorang wanita yang bergelimang dosa diampuni Tuhan karena memberi minum seekor anjing yang kehausan."

5. Rahmat & kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada benda-benda tak bernyawa.

Susu, gelas, cermin, tikar, perisai, pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan benda-benda tak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih sayang, dan persahabatan. Diakui bahwa Muhammad Saw. diperintahkan Allah untuk menegaskan bahwa, "Aku tidak lain kecuali manusia seperti kamu, (tetapi aku) diberi wahyu ..." (QS Al-Kahf [18]: 110).
Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu- batu lain. Dalam bahasa tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah bukan pada insaniyah." Perhatikan bunyi firman tadi : basyarun mitslukum bukan insan mitslukum. Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah Swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan). "Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia. Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim kontemporer menguraikan bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun beribadah. Sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. membuktikan bahwa beliau menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut. Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum berganda kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui kacamata ilmu dan kemanusiaan, dan kedua kali pada saat memandangnya dengan kacamata iman dan agama. Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw., antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira & pemberi peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.
Di sini fungsi beliau sebagai syahid akan dijelaskan agak mendalam. Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad Saw.) menjadi saksi terhadap kamu ... (QS Al-Baqarah [2]: 143). Kata syahid antara lain berarti "menyaksikan," baik dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh pebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada di antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi umat-umat yang lain, sedangkan Rasulullah Saw. yang juga
berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan bagi umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berarti bahwa Nabi Muham mad Saw. akan menjadi saksi di hari kemudian terhadap umatnya dan umat-umat ter dahulu, spperti bunyi firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa' (4) : 41 )
Maka bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami menghadirkan se orang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami hadirkan pula engkau (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka (QS Al-Nisa, [4]: 41).
Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang menelusuri jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka yang menurut Ibnu Sina disebut "orang yang arif," mampu memandang rahasia Tuhan yang terbentang melalu qudrat-Nya. Tokoh dari segala saksi adalah Rasulullah Muhammad Saw yuang secara tegas di dalam ayat ini dinyatakan "diutus untuk menjadi syahid (saksi)."

6. Sikap Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad Saw.

Dari penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. telah diseru oleh Allah dengan nama-nama mereka; Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa..., dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw., Allah Swt. sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan, seperti Ya ayyuhan Nabi..., Ya ayyuhar Rasul..., atau memanggilnya dengan panggilan-panggilan mesra, seperti Ya ayyuhal muddatstsir, atau ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalau pun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi dengan gelar kehormatan. Perhatikan firman-Nya dalam surat Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33) : 40, Al-Fat-h (48): 29, dan Al-Shaff (61): 6.

Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa Al-Quran berpesan kepada kaum mukmin.
"Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain... (QS Al-Nur [24]: 63). Sikap Allah kepada Rasul Saw. dapat juga dilihat dengan membandingkan sikap-Nya terhadap Musa a.s. Nabi Musa a.s. bermohon agar Allah menganugerahkan kepadanya kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala persoalannya. "Wahai Tuhanku, lapangkan dadaku & mudahkanlah untukku urusanku (QS Thaha [20]: 25-26).
Sedangkan Nabi Muhammad Saw. memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah dalam surat Alam Nasyrah, Bukankah Kami telah melapangkan dadamu ? (QS Alam Nasyrah [94]: 1).
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa bermohon tentunya lebih dicintai daripada yang bermohon, baik permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak. Permohonan Nabi Musa a.s. adalah agar urusannya dipermudah, sedangkan Nabi Muhammad Saw. bukan sekadar urusan yang dimudahkan Tuhan, melainkan beliau sendiri yang dianugerahi kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi -dengan pertolongan Allah- beliau akan mampu menyelesaikannya. Mengapa demikian ? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad dalam surat Al-A'la (87): 8, "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah." Mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena satu dan lain sebab-tidak mampu menghadapinya. Tetapi jika yang bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan tetap akan terselesaikan.
Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja. Juga dengan keistimewaan kedua, yaitu "jalan yang beliau tempuh selalu dimudahkan Tuhan" sebagaimana tersurat dalam firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah." (QS Al-A'la [87]: 8).
Dari sini jelas bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad Saw. melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa a.s., karena beliau tanpa bermohon pun memperoleh kemudahan berganda, sedangkan Nabi Musa a.s. baru memperoleh anugerah "kemudahan urusan" setelah mengajukan permohonannya. Itu bukan berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. dimanjakan oleh Allah, sehingga beliau tidak akan ditegur apabila melakukan sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan. Dari Al-Quran ditemukan sekian banyak teguran-teguran Allah kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yg lemah lembut. Perhatikan teguran firman Allah ketika beliau memberi izin kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang. "Allah telah memaafkan kamu. Mengapa engkau mengizinkan mereka ? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah terbukti bagimu siapa yang berbohong dalam alasannya, dan siapa pula yang berkata benar (QS Al-Tawbah [9]: 43)
Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa beliau telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya." Teguran keras baru akan diberikan kepada beliau terhadap ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui secara pasti orang yang diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun ketika beliau merasa dapat menetapkan siapa yang berhak disiksa. "Engkau tidak mempunyai sedikit urusan pun. (Apakah) Allah menerima tobat mereka atau menyiksa mereka (QS Ali 'Imran [3]: 128). Perhatikan teguran Allah dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau melayani orang buta yang datang meminta untuk belajar pada saat Nabi Saw. Sedang melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh kaum musyrik di Makkah. "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya..."
Teguran ini dikemukakan dengan rangkaian sepuluh ayat, dan diakhiri dengan :"Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Allah adalah suatu peringatan" (QS 'Abasa [80]: 11).
Nabi berpaling dan sekadar bermuka masam ketika seseorang mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat; hakikatnya dapat dinilai sudah sangat baik bila dikerjakan oleh manusia biasa. Namun karena Muhammad Saw. adalah manusia pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yg dalam istilah Al-Quran disebut zanb (dosa). Dalam hal ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar, sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa (bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan."